SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Aksi Kamisan

 

Pict By Pinterest

Hak asasi manusia (HAM) merupakan pilar fundamental dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Di Indonesia, semangat perlindungan HAM telah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, realitas di lapangan sering kali berbicara lain. Berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu belum kunjung menemukan titik terang. Di tengah kemacetan hukum dan politik, muncul sekelompok orang yang memilih berdiri dalam diam: mereka yang hadir dalam Aksi Kamisan. Aksi ini menjadi simbol perlawanan yang senyap, namun penuh makna—perlawanan yang menolak lupa.

Kamis, 18 Januari 2007, untuk pertama kalinya aksi diam digelar di depan Istana Negara Jakarta. Sejak saat itu, setiap hari Kamis, para aktivis dan korban pelanggaran HAM berkumpul dalam diam. Mereka membawa foto, poster, dan payung hitam sebagai simbol duka dan perjuangan. Tuntutan mereka jelas: negara harus menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti Tragedi Semanggi, Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari 1989, dan lainnya. Namun hingga kini, keadilan yang dijanjikan belum juga datang.

Entah bagaimana pemerintah memandang kasus-kasus HAM ini. Seolah-olah tragedi kemanusiaan tersebut dianggap angin lalu, bahkan oleh mereka yang pernah berjanji untuk menuntaskannya. Mulai dari kalangan profesor, kiai, ibu rumah tangga, rakyat kecil, hingga para jenderal yang pernah memegang kendali negara—semuanya menyuarakan keresahan yang sama. Pasal 28A hingga 28J UUD 1945 jelas mengatur hak-hak asasi warga negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan memperjelas mekanisme penegakan hukum dan pembentukan lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan HAM. Namun, hukum tampaknya hanya menjadi dokumen formal, bukan pijakan nyata dalam kebijakan negara.

Tiap tahunnya, Komnas HAM menerima lebih dari dua ribu laporan pelanggaran HAM. Angka ini sangat tinggi bagi sebuah negara yang masyarakatnya dikenal ramah. Ironisnya, keramahan itu hanya melekat pada rakyat, bukan pada para penguasa. Isu HAM hanya muncul ke permukaan menjelang pemilu. Para calon pemimpin berlomba-lomba berjanji menyelesaikan kasus HAM demi mendulang suara, namun begitu duduk di kursi kekuasaan, janji itu hilang entah ke mana. Korban HAM seolah hanya menjadi alat kampanye, bukan subjek perjuangan.

Negara hukum seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi seluruh warga negara, bukan hanya menjadi slogan yang kosong makna. Mengapa pemerintah seperti menutup mata? Apakah pelanggaran HAM hanya dianggap sebagai debu yang menempel di pagar istana? Apakah Aksi Kamisan hanya dipandang sebagai tontonan yang membosankan di sela-sela kekuasaan? 

Bagi saya, Aksi Kamisan bukan sekadar aksi diam menuntut keadilan. Ia adalah bentuk cinta, ketulusan, dan perjuangan tanpa pamrih. Kamisan adalah manifestasi keberanian melawan lupa. Saya percaya, Aksi Kamisan adalah bom waktu moral yang suatu hari akan mengguncang tembok ketidakadilan, mendobrak pintu-pintu kezaliman, dan mengajarkan kita bagaimana menjadi manusia yang sejati. Hingga tulisan ini dibuat, Kamisan telah mencapai aksi ke-863. Entah sampai kapan ia akan berlanjut, tetapi satu hal yang pasti: Kamisan akan terus hadir sebagai pengingat bahwa keadilan belum ditegakkan. Jika hari ini mereka menjadi korban, bisa jadi esok hari kita yang merasakannya.

Setiap orang memiliki peran dalam membangun tatanan masyarakat yang adil dan damai. Aksi Kamisan mengajak kita untuk tidak diam, untuk peduli, dan untuk menolak lupa. Keadilan tidak akan datang dengan sendirinya; kita harus berani menjemputnya, dengan suara, aksi, dan kesadaran kolektif yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.


Penulis : Mochammad Nur Alifian