SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Menakar Kualitas SDM, Hegemoni Kelompok dan Birokrasi FAI UMJ

Penulis: Ryas Ramzi (Mahasiswa KPI UMJ)

Gedung FAI UMJ

Dalam konstruksi pemikiran saya mengenai fakultas atau kampus yang ideal dipengaruhi oleh tiga variabel; SDM, sistem politik, dan birokrasi. Namun, ketiga variabel tersebut yang saya rasakan masih kurang di FAI UMJ. Tiga variabel yang seharusnya berjalan dengan baik, tapi hadir sebagai permasalahan yang menurunkan kualitas FAI UMJ.

Keresahan yang saya sering dengar dari mahasiswa FAI UMJ—khususnya pengurus lembaga mahasiswa—adalah kurangnya minat mahasiswa untuk ikut aktif berorganisasi. Berbagai asumsi muncul dengan pertimbangan yang kurang pas tanpa kalkulasi yang tepat. Padahal, dalam psikologi telah dijelaskan mengenai alasan-alasan mahasiswa atau individu dalam mengambil keputusan—Dalam konteks ini adalah organisasi.

Kemudian, sistem politik FAI UMJ terkungkung oleh hegemoni kelompok besar. kelompok yang memiliki massa dengan jumlah paling dominan ini yang menjadi sentral dalam politik FAI UMJ. kelompok dengan jumlah massa yang dominan tentunya menjadi indikator semangat berorganisasi masih tinggi di FAI UMJ. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika segala keputusan diambil porsinya oleh kelompok besar itu. Tentu, akan banyak timbul permasalahan yang mengakar.

Keresahan terakhir adalah birokrasi FAI UMJ. Saya sadari, mahasiswa FAI UMJ salah dalam menginterpretasikan sinergitas. Akibatnya, sinergitas diartikan sebagai kerjasama. Tidak peduli baik-buruk kebijakan birokrat FAI UMJ. Selagi posisi di lembaga mahasiswa tidak terganggu, ikuti arahan.

Untuk mengetahui lebih dalam dan menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan tulisan ini. Saya sarankan membaca tulisan ini sepenuhnya karena subtansi tiga variabel di atas—kritik, kebutuhan, dan solusi—tidak berada di bagian pendahuluan.

Kualitas SDM dilihat dari Perspektif Psikologi

Perilaku atau pengambilan keputusan individu dipengaruhi oleh tiga faktor: persepsi, motivasi, dan kemampuan. Pertama, apa itu persepsi? Singkatnya, persepsi adalah proses orang dalam menginterpretasikan informasi. Dan persepsi sendiri dipengaruhi oleh kepribadian yang terbentuk karena karakteristik biografi atau riwayat hidup seperti gender, usia, suku bangsa, keluarga, budaya, dan lain sebagainya. Persepsi juga dipengaruhi nilai, sikap, dan pengalaman individu.

Sementara motivasi adalah faktor dari dalam diri individu yang dapat menggerakkan seorang individu untuk melakukan sebuah tingkah laku. Motivasi dipengaruhi berbagai macam hal. Dalam melakukan sebuah tingkah laku, bisa jadi banyak motif yang mendorong individu tersebut. Motif ini tidak ada yang tahu kecuali individu itu sendiri. Kita tidak pernah tahu secara pasti motif orang dalam berbuat sesuatu itu apa.

Terakhir, kemampuan yang terus berkembang selama proses belajar seorang individu. Dalam sebuah organisasi diperlukan orang-orang yang mampu dan mau. Untuk mahasiswa, kadang sulit menemukan orang yang mampu dan mau ini. Syukur-syukur dapet yang mau. Disinilah peran penting kaderisasi, menciptakan dan mengembangkan orang menjadi mampu.

Persepsi itu subyektif. Persepsi terhadap sesuatu itu berbeda-beda bagi masing-masing orang. Tidak ada yang tahu pasti persepsi orang lain. Tak terkecuali terhadap organisasi mahasiswa.

Persepsi mahasiswa terhadap organisasinya seringkali beragam. Semakin lama dia di sebuah organisasi, semakin berubah persepsi itu. Untuk yang akan dan baru masuk sebuah organisasi, mungkin persepsi orang itu terhadap organisasi tersebut masih bagus dan keren. Tapi lama-lama, persepsi itu berubah karena banyaknya pengalaman dan masalah yang dihadapi. Beberapa orang jadi memiliki persepsi yang buruk sehingga lebih memilih tempat lain.

Namun, kadang yang menjadi masalah adalah distorsi pada persepsi yang sering terjadi yakni halo-effect dan stereotyping.

“Ah ngapain sih masuk HMP X, tampangnya seram-seram”

“Aduh di lembaga ini drama mulu dah, gak dapet apa-apa”

“Ah orang-orangnya gak jelas, mending gausah ikut lagi daripada kebawa-bawa gak jelas”

“Anggotanya banyak yang gondrong.”

Dan lain sebagainya.

Hal inilah yang sering terjadi, ketika kita menyimpulkan sebuah organisasi secara keseluruhan padahal baru melihat satu atau segelintir kejadian saja (halo-effect). Atau stereotyping, ketika kita menggeneralisasi organisasi kemahasiswaan di FAI UMJ sama seperti yang lain, seperti ketika kita mengatakan himpunan itu kuno, banyak tradisinya, penuh agitasi, dan lain-lain. Padahal tidak semua organisasi mahasiswa seperti itu.

Kini, persepsi mahasiswa FAI terhadap organisasi atau lembaga mahasiswa terus memburuk. Lembaga mahasiswa di FAI harus berupaya untuk mempengaruhi persepsi dari setiap anggotanya. Lembaga harus bisa berubah, fleksibel, dan beradaptasi terhadap zaman. Dari diri mahasiswa pun, distorsi-distorsi tersebut harus diminimalisir, dengan memahami dari sudut-sudut pandang yang berbeda-beda, dan tidak langsung menilai sebuah organisasi dan melompat ke kesimpulan.

Motif adalah suatu pendorong atau tujuan seorang individu dalam melakukan sesuatu. Lagi-lagi, kita tidak bisa tahu secara pasti motif orang dalam melakukan sesuatu. Tak terkecuali pada organisasi mahasiswa.

Menurut Teori Tiga Motif Sosial (Mc Clelland), terdapat tiga kategori motif seseorang dalam melakukan sesuatu. Tiga motif itu antara lain:

1.     Motif untuk Berprestasi (Achievement)

2.     Motif untuk Bersahabat (Affiliation)

3.     Motif untuk Berkuasa (Power)

Dalam konteks organisasi mahasiswa, mahasiswa FAI juga mencari salah satu, salah dua, atau ketiga motif tersebut. Ada yang bergabung organisasi untuk mengembangkan diri, menambah ilmu, menambah pengalaman, dan menambah kemampuan dalam berorganisasi. Ada juga yang ingin mendapatkan relasi, teman ngobrol, teman main, aktivitas senang-senang, dan rasa hangat dari organisasi tersebut. Ada pula yang ingin berkuasa dan mempengaruhi orang lain, memanjat tangga sosial, dan in control terhadap organisasi tersebut. Lagi-lagi tidak ada yang tahu pasti motif dari seseorang.

Ada juga Teori Dua Faktor dari Herzberg, yang membagi motif menjadi dua faktor kepuasan dan ketidakpuasan.

Faktor kepuasan (Motivator/Satisfiers) adalah faktor-faktor yang kalau ada akan membuat kita merasa puas. Namun kalau tidak ada, hanya membuat kita tidak merasa puas. Faktor-faktor tersebut seperti penghargaan, tanggung jawab, aktivitas, kesempatan berkembang, dan keterlibatan kita dalam organisasi. Faktor ini adalah konten dari organisasi itu sendiri.

Sementara faktor ketidakpuasan (Hygiene Factor/Disastifiers) adalah faktor yang bisa dibilang basic needs. Yang tidak ada akan membuat kita merasa tidak puas, dan jika ada hanya membuat kita tidak merasa tidak puas. Faktor-faktor tersebut seperti teman-teman yang baik dan mau diajak kerja sama, kenyamanan sekre, dan rasa kekeluargaan di dalam organisasi. Faktor ini adalah konteks dari organisasi itu sendiri dan harus terpenuhi untuk menghindari anggota yang tidak puas terhadap organisasi tersebut.

Jika dilihat dari stakeholder ormawa atau pejabat-pejabat FAI, ormawa harus memenuhi segala kategori motif ini. Harus memenuhi anggota-anggota bermotif prestasi, bersahabat, maupun berkuasa agar setiap anggota tetap memiliki dorongan untuk beraktivitas di organisasi tersebut. Kalau hanya salah satu yang terpenuhi, misalnya, bersahabat --kekeluargaan ya maklumi saja anggota-anggota yang ingin mengembangkan diri bakal enggan dan mencari tempat lain.

Juga harus memenuhi segala faktor kepuasan dan ketidakpuasan. Kekeluargaan, teman-teman yang terbuka dan menerima, serta wadah berkegiatan dan berkarya untuk setiap anggota harus terpenuhi. Lembaga yang dingin akan menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakterikatan anggota, sementara lembaga yang tidak ada program kerja juga akan membuat anggotanya keluar untuk mencari pekerjaan dan kepuasan.

Kemudian yang harus kita dalami di sini adalah salah satu faktor ketidakpuasan atau basic needs yang disebut-sebut kekeluargaan. Sering sekali ormawa atau lembaga di FAI menjual nilai atau asas kekeluargaan sebagai keunggulan mereka. Namun, nilai tersebut sebenarnya apa? Apakah kekeluargaan itu bisa diturunkan? Apakah kekeluargaan bisa dipaksakan dengan orientasi jurusan yang keras?

Sekarang, mari kita anggap kekeluargaan adalah perasaan dan bukan nilai. Menurut saya, kekeluargaan adalah perasaan keterikatan satu sama lain dan bukan suatu nilai yang diturunkan atau dipaksakan. Menurut salah satu teori pembentukan kelompok, Interaction Theory dari George Homans, ada tiga aspek yang saling menumbuhkan satu sama lain dalam sebuah kelompok.

1.    Semakin banyak aktivitas bersama, maka semakin besar frekuensi interaksi dan semakin kuat perasaan keterikatan dan kebersamaan. Semakin banyak interaksi, maka semakin banyak aktivitas bersama dan semakin kuat perasaan keterikatan. Semakin kuat perasaan keterikatan, maka semakin banyak aktivitas bersama dan semakin banyak interaksi.

Dari teori ini, tinggal dipilih kita mau mulai dari mana. Aktivitas, interaksi, atau perasaan? Dan seringkali organisasi kemahasiswaan di FAI memulai dengan memaksakan perasaan yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dengan tes kenal, agitasi, dan tugas-tugas wawancara, perasaan dan interaksi dalam angkatan menjadi terkesan dipaksakan. Akibatnya, Setelah masa orientasi menjadi kendur lagi dan ketiga aspek tersebut tidak tumbuh. Ditambah interaksi personal yang minim dengan pihak calon organisasi atau pengader, menyebabkan tidak ada rasa keterikatan dengan pengader atau organisasi ketika pertama kali dilantik anggota.

Organisasi kemahasiswaan di FAI UMJ harus merevolusi cara mereka dalam menerima anggota. Interaksi personal intra dan antar angkatan harus dibebaskan bahkan sebelum mereka dilantik. Perbanyak aktivitas bersama di masa-masa awal atau orientasi. Tumbuhkan perasaan keterikatan tanpa paksaan.

Sekarang kita beranjak ke faktor terakhir pengambilan keputusan individu yaitu kemampuan. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh proses belajar individu. Proses belajar dalam organisasi istilah lainnya adalah kaderisasi.

Namun, kadang muncul stereotype tentang kaderisasi, seperti kaderisasi yang berupa paksaan, pencekokan nilai, agitasi, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kaderisasi jauh lebih dari itu. Kaderisasi adalah salah satu cara dalam membentuk kelompok-kelompok baru dalam sebuah organisasi. Kaderisasi juga proses transfer ilmu dari pemegang kuasa organisasi kepada penerusnya. Kaderisasi ini proses pengembangan setiap dari anggota sebuah organisasi. Kaderisasi adalah proses regenerasi sebuah organisasi.

Dari sisi ormawa, ormawa harus membuat sistem kaderisasi yang efektif dan efisien agar regenerasi bisa berlangsung lancar dan ormawa tidak kehilangan “jiwa”nya seiring waktu.

Hegemoni Kelompok Besar

Hari ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat sebuah kelompok yang mendominasi jalannya pemerintahan atau kegiatan-kegiatan politik di FAI UMJ. Mereka biasanya menjadi elit mahasiswa, dengan mengisi posisi-posisi strategis di tingkat mahasiswa.

Kelompok yang mendominasi sudah pasti memiliki ideologi tertentu. Pada akhirnya, ideologi ini bisa menjamur dan menyebar karena keberhasilan kelompok ini dalam memperjuangkan nilai-nilai dan ideologinya. Hal ini membuat pihak-pihak yang didominasi menjadi diam dan taat karena mereka seolah sudah terbiasa dan menganggap ideologi tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Antonio Gramsci menyebut hal ini sebagai sebuah istilah: hegemoni.

Pengaruh hegemoni yang terjadi di FAI UMJ cukup kuat. Jika anggota atau kader di kemudian hari berbeda pendapat dengan kelompoknya, maka ada konsekuensi yang harus diterima, mulai dari sanksi sosial berupa cibiran dari teman sekelompoknya.

Kondisi ini menjadi parah ketika sistem politik di FAI UMJ tidak menganut sistem kepartaian. Semua menjadi samar, karena lawan bersikap seolah menjadi kawan dan yang dianggap kawan ternyata adalah lawan. Selain itu, hal yang membuatnya demikian parah adalah ketika kelompok ini tidak ragu menggunakan isu-isu privasi; akhlak, moral, penampilan, dsb.

Terdapat beberapa implikasi dari adanya kelompok yang mendominasi ini:

A.    Bukan kompetensi yang diutamakan, melainkan kelompok

Adanya kelompok yang mendominasi dalam sebuah sistem pemerintahan atau kepengurusan di FAI membuat demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Kelompok yang mendominasi ini biasanya menjadi salah satu jalan untuk mencapai kekuasaan. Artinya, mahasiswa FAI yang berada di luar kelompok yang mendominasi akan terus dikuasai dan tidak dapat terlibat dalam sistem pemerintahan.

Meskipun mahasiswa lain di luar kelompok mendominasi memiliki kompetensi yang sangat prima, mereka akan tetap sangat sulit untuk masuk ke dalam sistem. Ini juga mengakibatkan mahasiswa lain di luar kelompok mendominasi menjadi tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik.

B.    Minimnya partisipasi politik dari mahasiswa

Kelompok yang mendominasi dianggap hanya menomorsatukan kepentingannya dan tidak memperhatikan kebutuhan sebenarnya dari mahasiswa/i di FAI. Kebijakan-kebijakan dari para pejabat di tingkat organisasi mahasiswa dianggap tidak berpengaruh terhadap kehidupan para mahasiswa sebagai warga FAI.

Para mahasiswa yang dipimpin kemudian menjadi jenuh, acuh dan banyak yang memilih untuk menjadi golput dalam pemilihan pemimpin mahasiswa FAI UMJ. Mereka memilih untuk “bodo amat” karena siapapun pemimpinnya, tidak membawa perubahan bagi mereka. Artinya, adanya kelompok mendominasi yang sudah menahun di kampus membuat kesenjangan antara kelompok mendominasi (kelompok yang berkuasa) dengan kelompok yang dikuasai.

C.    Hilangnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa FAI UMJ

Poin ini adalah salah satu dampak paling fatal dari adanya kelompok yang mendominasi di FAI UMJ. Hilangnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa, salah satunya dikarenakan para mahasiswa yang berada di dalam kelompok yang mendominasi diwajibkan untuk mengikuti arahan dari kelompoknya. Mereka tidak lagi kritis untuk bisa menilai mana yang sebenarnya benar dan tidak. Bagi mereka, semua yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh kelompoknya adalah kebenaran.

Hal ini sebenarnya juga bisa dilihat dari program-program yang dibuat oleh organisasi-organisasi di tingkat mahasiswa, yang cenderung hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pengurus sebelumnya. Jika pengurus sebelumnya berasal dari satu kelompok, maka hal ini bisa jadi dianggap bahwa pengurus sebelumnya telah melakukan sesuatu yang benar.

Birokrasi FAI UMJ

Sebagai lembaga mahasiswa yang punya otoritas dalam menjalankan suara mahasiswa seharusnya betul-betul berjalan dalam kooridor yang sesuai dengan nilai-nilai mahasiswa. Lembaga mahasiswa FAI UMJ punya peran penting sebagai medium utama menjembatani suara mahasiswa kepada birokrasi FAI. Bukan menjadi lembaga yang berdiam dan dikungkungi oleh birokrasi. Hal ini menjadi persoalan bagi lembaga mahasiswa jika berada dalam area yang dikangkangi birokrasi FAI UMJ.

Jika berkaca dari pergerakan mahasiswa FAI UMJ selama ini, pergerakan yang dilakukan mahasiswa hanya bergeming dalam urusan memenuhi panggilan sebagai agent of controll terhadap pemerintah. Tetapi dalam internal mahasiswa, justeru panggilan untuk menjembatani apalagi mengontrol birokrasi FAI UMJ belum sepenuhnya dilakukan.

Sebagai mahasiswa yang punya perhatian besar kepada lembaga mahasiswa, saya meyakini mahasiswa FAI UMJ hari ini masih menyimpan perasaan takut terhadap birokrasi fakultas. Perasaan tersebut makin mengakar dalam diri mahasiswa dan semakin menggeliat hingga tidak mampu menjadi mahasiswa yang benar-benar menerobos batas-batas kemahasiswaan.

Maksudnya, mahasiswa dengan sikap seperti ini malah berdiam di dalam ketek para birokrasi. Sudah menjadi kekhawatiran kita bersama, lembaga mahasiswa FAI UMJ kehilangan arah dan tidak mampu meneruskan aspirasi mahasiswa.

Lembaga mahasiswa FAI UMJ benar-benar kehilangan orientasi nyata dalam memenuhi panggilan sebagai media aspirasi mahasiswa. Kita tentu berharap lembaga mahasiswa bisa menyadari akan peran besar yang diemban oleh mahasiswa. Kenyataannya harapan tersebut menjadi layu dan bahkan mengikis hingga mati.

Lembaga mahasiswa FAI UMJ hanya berdiam tetapi tidak nyaring. Taring lembaga telah keropos karena kesadaran mahasiswa untuk menjaga marwah lembaga mahasiswa hanya sebatas pada euforia demokrasi. Selebihnya, lembaga hanyalah sebuah nama dan ruangan yang tidak melahirkan ide dan gagasan baru.

Di sini sebetulnya apa yang saya bilang tadi, orientasi lembaga semakin buram. Artinya keberadaan lembaga mengalami keredupan yang cukup memprihatinkan dalam menyerap aspirasi mahasiswa. Kita benar-benar menjadi mahasiswa yang semakin dininabobokan dengan minimnya ide.

Dalam urusan kemajuan lembaga mahasiswa, langkah konkrit yang perlu diupayakan adalah membangun sinergitas. Dalam hal ini lembaga mahasiswa dan birokrasi FAI UMJ perlu mengedepankan ruang sinergi dan komunikasi sehingga mewujudkan lembaga dan birokrasi yang sejalan.

Dalam kacamata saya, sinergitas yang berjalan antara lembaga mahasiswa dan birokrasi harus diupayakan dengan baik. Namun bukan berarti sinergitas antara keduanya akan menimbulkan keberpihakan lembaga mahasiswa kepada birokrasi. Hal ini tidak kita biarkan.

Di sini lembaga mahasiswa sebagai media yang menyerap aspirasi mahasiswa FAI UMJ harus bisa menjadi kontrol penuh dan mengkawal birokrasi dalam urusan pemenuhan aspirasi mahasiswa. Sehingga bukan melahirkan lembaga yang mudah dikangkangi oleh birokrasi tetapi mampu memantapkan lembaga mahasiswa yang berdiri dengan bersandar pada mahasiswa.

Sebetulnya jika hal ini dilakukan oleh mahasiswa FAI UMJ yang saat ini mengemban amanah mahasiswa, saya bisa memastikan bahwa lembaga mahasiswa FAI UMJ akan mudah berjalan dalam kepastian bagi terwujudnya aspirasi mahasiswa.

Dalam konteks yang lebih luas, lembaga mahasiswa harus mampu mengambil sikap yang lebih sigap terhadap kebijakan fakultas. Artinya, dalam setiap urusan kebijakan yang melibatkan mahasiswa, lembaga mahasiswa FAI UMJ harus hadir sebagai wahana yang mampu mendobrak kebijakan jika itu tidak berpihak pada mahasiswa.

Kesalahan yang paling memalukan bagi lembaga mahasiswa FAI UMJ, ketika lembaga justru hadir sebagai bayangan yang kehilangan diri sendiri. Bayangan lembaga dapat kita analogikan sebagai sebuah kehilangan arah lembaga untuk menjawab keresahan mahasiswa.

Di sini saya ingin menerangkan, bahwa lembaga mahasiswa FAI UMJ perlu membawa dirinya ketengah-tengah mahasiswa bukan sebagai bayangan tetapi secara nyata. Di sana ada pekerjaan yang memang harus diselesaikan oleh lembaga mahasiswa terhadap keresahan mahasiswa. Di situlah saya berpikir tugas moral lembaga mahasiswa melekat dalam setiap mahasiswa yang punya otoritas untuk mengawal aspirasi mahasiswa kepada birokrasi.