SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Wajah Palsu Mahasiswa Dalam Realitas Sosialnya di Kehidupan Kampus

Penulis: Sultan Ibnu Affan (Mahasiswa KPI UMJ)

Sebuah peran dan fungsi yang tak tersampaikan pada tujuan yang semestinya.

Ilustrasi oleh : M. Ghoni Ilmi



“Sumpah Mahasiswa Indonesia!

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah ; Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah ; Berbangsa Satu, Bangsa Yang Gandrung Akan Keadilan

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah ; Berbahasa Satu, Bahasa Tanpa Kebohongan”

Sumpah ini adalah sumpah yang diteriakkan oleh para mahasiswa ketika reformasi pada tahun 1998 silam, akibat dari keresahan yang berkepanjangan yang dirasakan oleh mereka kepada rezim Orde Baru yang subversif pada belasan tahun lalu. Sumpah inilah yang seharusnya menjadi manifesto dalam setiap arah juang dan pergerakan mahasiswa pada saat ini, yang senantiasa melekat dalam jiwa seseorang yang disebut-sebut sebagai mahasiswa.

Namun sialnya, saat ini sumpah tersebut hanya dijadikan sebuah “slogan kosong” yang seolah-olah hanya dijadikan sebuah ungkapan yang harus dilontarkan para mahasiswa dalam setiap orasinya, tetapi tidak terejawantahkan dengan semestinya.

Rasanya sudah tak asing lagi mendengar ucapan “hidup mahasiswa”dan segala teriakan yang katanya sepenuh jiwa, bermakna serta menjadi spirit perlawanan ketika mahasiswa sedang berdemonstrasi dihadapan para rezim birokrat yang subversif. Ini patut kita renungkan, khususnya kepada para mahasiswa, kaum akademisi yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuannya dikampus.

Bagaimana tidak? tiga point penting dalam sumpah tersebut sangatlah relevan jika dikaitkan dengan peran dan fungsi yang telah disematkan oleh mahasiswa yaitu; agent of change, moral force, guardian of value, social of control, dan sebagainya.

Mungkin hanya sebagian saja yang perlu saya deskripsikan sebagai suatu hal yang urgent untuk kita renungkan bersama-sama saat ini. Sebagai agent of change, atau agen perubahan. Artinya, kita bisa dikatakan sebagai mahasiswa ketika ia sudah bertindak sebagai penggerak yang mengajak dalam suatu kelompok, identitas, maupun entitas terhadap suatu kebaikan dan hal-hal yang baik sehingga akan berdampak positif terhadap sekelilingnya. Tentunya dengan berbagai gagasan serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sosial yang didudukinya.

Juga guardian of value,yang artinya ia adalah sebuah entitas yang menjadi penjaga nilai-nilai masyarakat maupun kelompoknya, yang senantiasa menjunjung tinggi prinsip keadilan, kejujuran, empati serta integritas yang dibawa dalam setiap arah dan pergerakannya. Tentunya juga dituntut pula untuk mampu berpikir secara ilmiah terhadap nilai-nilai yang ia jaga.

Tetapi, pada kenyataannya sangatlah memprihatinkan. Bagaimana tidak? Tidak usah bergerak terlalu jauh, dalam ruang lingkup kehidupan kampus misalnya, Kampus, salah satu pusat ilmu pengetahuan serta budaya bangsa,yang dihuni oleh ratusan bahkan ribuan akademisi para pengabdi cita. Ia yang mempunyai sebuah kewajiban, yaitu; Tri dharma perguruan tinggi. Mungkin beda dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang menambah satu kewajibannya menjadi Caturdharma (mungkin hanya sebagai pembeda atau menjadi identitasnya tersendiri), tetapi pada hakikatnya sama.

Mari sejenak kita berkaca dalam konteks kehidupan kampus, sebuah institusi pendidikan yang semestinya menjadi wadah bagi para mahasiswa atau kaum akademisi untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir kritis, sehingga dapat mampu merealisasikan peran dan fungsinya dengan semestinya.

Tanpa kita sadari, kita telah membiarkan praktik feodal yang diterapkan oleh pihak kampus dalam sebuah sistem pendidikan kita. Dalam KBBI yang disebut feodal itu ialah sebuah sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat, bukan mengagungkan prestasi kerja.

Dalam konteks ini, kita tidak perlu melihat terlalu jauh. Dalam ruang lingkup sosial yang paling kecil saja--kelas misalnya, ketika seorang pengajar dalam kampus yang kita sebut sebagai dosen yang terkadang merampas hak-hak kita sebagai mahasiswa. Dosen yang dengan seenaknya mengubah ataupun membatalkan jadwal kelas lalu meminta hari pengganti, yang dimana terkadang dengan perlakuan tersebut membuat jadwal kegiatan kelembagaan mahasiswa menjadi terganggu. Atau dengan para dosen konservatif yang seakan-akan menganggap dirinya itu bak seorang dewa atau merasa paling benar, tidak suka dikritik ketika kita sebagai mahasiswa mencoba berpikir kritis dalam sebuah diskusi kecil dikelas.

Saya sangat yakin bahwa sebagian besar contoh kasus di atas pernah kita alami, ya minimal sedikitnya sekali atau dua kali. Tetapi pertanyaan selanjutnya ialah apa yang harus kita lakukan dengan berbagai sistem perilaku kampus yang sedemikian menjijikan itu, wahai agent of change? Dimana letak integritas kita yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan jika dalam contoh kasus kecil di atas saja kita diam tak berkutik?

Tampaknya disinilah kita menemui titik temu “wajah palsu” mahasiswa, yang kini seolah-olah hanya menjadi robot-robot atau mesin penghasil uang oleh para birokrat kampus, berdiam diri terhadap sebuah praktik yang merugikan juga mencederai sematan mahasiswa.

Tidak usah terlalu jauh  mengkritisi pemerintahan, polri, DPR serta aparatur negara lainnya, jika berpihak dalam suatu keadilan diruang kelas saja tidak mampu. Tidak usah terlalu jauh juga berlagak pahlawan dengan beradu jotos terhadap aparat yang kalian anggap represif ketika mereka menghalangi kalian dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat? Jika dengan dosen saja tidak ada nyalinya. Bukankah suatu hal besar harus didahului oleh hal yang terkecil dulu?

Sebelum menutup, alangkah baiknya kita terus sadar akan peran dan fungsi yang telah disematkan sebagai seorang mahasiswa, sebagai kaum akademisi yang diharapkan menjadi sebuah generasi perubah bangsa, generasi yang gandrung akan keadilan, yang senantiasa selalu menjaga nilai-nilai integritasnya.

Taklupa pula kepada para dosen yang terhormat, bukankah kalian tahu dalam Pancasila, yaitu dalam sila ke-dua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, apakah kalian sudah berlaku adil dalam menerapkan sistem pengajaran yang selama ini kalian terapkan kepada mahasiswa? Padahal sila itu sudah kita anggap sebagai sesuatu hal yang mutlak dan menjadi pedoman bagi warga negara Indonesia. Atau mungkin saja kalian yang takpaham atas sila tersebut? Wallahu’alam.

Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di medium.com pada 31 Desember 2019