Memaknai Hari Pahlawan: Antara Sejarah dan Tantangan Masa Kini
Oleh Ummu Amanda Haditanafsi
![]() |
Pict by : Pinterest |
Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November bermula dari peristiwa heroik di Surabaya tahun 1945. Pertempuran ini dipicu ketika pihak Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Awalnya, kedatangan mereka bertujuan untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang.
Situasi memanas ketika pada 27 Oktober 1945, pasukan Sekutu
menyerbu penjara Kalisosok dan menduduki beberapa tempat strategis di Surabaya
tanpa koordinasi dengan pihak Indonesia. Ketegangan mencapai puncaknya saat
Brigadir Mallaby tewas dalam insiden di gedung Internatio pada 30 Oktober 1945.
Menanggapi hal tersebut, pada 9 November 1945, pihak Sekutu
di bawah pimpinan Mayjen E.C. Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menuntut
agar pemimpin dan rakyat Indonesia menyerahkan senjata dan menyerah kepada
Sekutu. Bung Tomo, melalui pidato heroiknya yang terkenal, mengobarkan semangat
rakyat Surabaya untuk melawan.
Pertempuran besar pecah pada 10 November 1945. Arek-arek
Suroboyo berjuang dengan gagah berani menghadapi tentara Sekutu yang dilengkapi
persenjataan modern. Dalam pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu ini,
sekitar 6.000-16.000 pejuang Indonesia gugur. Peristiwa ini kemudian diabadikan
sebagai Hari Pahlawan, melalui Keppres No.316 tahun 1959.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya bukan sekadar
catatan sejarah. Peristiwa ini merupakan bukti nyata semangat juang bangsa
Indonesia yang berani melawan ketidakadilan. Arek-arek Suroboyo dengan gagah
berani mengangkat senjata, tak gentar menghadapi tentara Sekutu yang jauh lebih
modern persenjataannya. Semangat "merdeka atau mati" yang mereka
teriakkan bukanlah slogan kosong, melainkan manifestasi tekad yang dibayar
dengan darah dan nyawa.
Ironisnya, di tengah kemerdekaan yang telah berusia 79 tahun,
kita justru menghadapi "penjajahan" dalam bentuk baru. Korupsi,
kemiskinan, kesenjangan sosial, dan degradasi moral menjadi musuh yang tak
kalah berbahaya dari penjajah fisik. Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi
"pahlawan" untuk mengatasi masalah-masalah ini?
Menjadi pahlawan di era modern tidak lagi identik dengan
mengangkat senjata. Seorang guru yang dengan tekun mendidik anak bangsa di
pelosok negeri adalah pahlawan. Petani yang gigih mengolah tanah demi ketahanan
pangan adalah pahlawan. Peneliti yang tekun mengembangkan inovasi demi kemajuan
bangsa adalah pahlawan. Bahkan, warga yang teguh menjaga kejujuran dan menolak
suap adalah pahlawan masa kini.
Di era digital ini, medan perang telah berubah. Tantangan
yang kita hadapi mungkin berbeda, tapi semangat yang dibutuhkan tetaplah sama.
Setiap anak bangsa dapat menjadi pahlawan dengan caranya masing-masing. Entah
melalui prestasi akademik, inovasi teknologi, pelestarian budaya, atau
kepedulian sosial. Yang terpenting adalah tekad untuk memberikan yang terbaik
bagi bangsa dan negara.
Mari jadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk menjadi
pahlawan dalam kapasitas masing-masing. Sebab sejatinya, pahlawan bukan tentang
siapa yang paling berjasa, tapi tentang siapa yang berani berkorban demi
kebaikan bersama.
Momentum Hari Pahlawan hendaknya tidak hanya menjadi ritual
tahunan, tetapi menjadi pengingat akan tanggung jawab kita untuk meneruskan
perjuangan para pahlawan dalam konteks kekinian. Pertanyaannya bukan lagi
"Merdeka atau Mati!" melainkan "Apa sumbangsihmu
untuk Indonesia?"