Seperti Rahim Ibu
Oleh : Ega Aura
(Mahasiswi KPI UMJ Angkatan 2023)
![]() |
Pict by Ega |
Kemanusiaan itu
Seperti terang pagi
Merekahkan harapan
Menepis kabut kelam
…
Seandainya negeriku
Serupa rahim ibu
Merawat kehidupan
Menguatkan yang rapuh
Dua bait di atas adalah penggalan lirik dari lagu milik grup musik indie, Efek Rumah Kaca. Lagu yang ngga bisa ‘cuma’ didengarkan, tapi juga seolah memanggil nuraniku tiap kali aku mendengarnya sebagai background musik sembari aku membaca buku Max Havelaar karya Multatuli itu. Ternyata rahim seorang wanita yang dianalogikan sebagai suatu wadah ajaib yang mampu menopang kehidupan ini, disandingkan dengan kata ‘negeri’, tempat yang seharusnya menopang keberlangsungan hidup kita, menjamin keamanan dan kenyamanan manusia yang hidup di atas tanahnya.
Pada momentum Hari Perempuan Sedunia kemarin, aku banyak berpikir tentang bagaimana perempuan dan perannya di era ini, apa perempuan sudah bisa berkontribusi untuk lingkungannya dalam skala kecil?, apakah keberanian itu muncul bersamaan dengan pedih dalam hati seorang perempuan saat dia dilecehkan?. Hal ini membawaku pada 2 kesimpulan; kontradiksi perempuan sebagai pusat peradaban justru menjadi pihak yang paling dirugikan dalam peradaban itu sendiri, dan ketidakselarasan antara harapan bahwa perempuan ada untuk merawat kehidupan, juga sekaligus kenyataan bahwa terkadang perempuan diperlakukan tidak adil dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Bukankah sejak dahulu kala yang memimpin kerajaan adalah Raja, bukan Ibunya? Meski terkadang perempuan selalu mendapat ‘tempat’ atau perlakuan khusus, tapi kita ngga bisa menutup mata bahwa limitasi-limitasi itu selalu ada. Boleh pinter, tapi jangan kepinteran nanti laki-laki minder. Boleh punya jabatan di kantor, tapi jangan ketinggian nanti kalau makin sibuk urusan rumah ngga kepegang. Boleh jadi orang paling vokal, tapi jangan terlalu kelihatan ambisiusnya nanti dicap idealis dan mau menang sendiri. Perempuan, bagaimanapun suksesnya, selalu diikuti oleh bayang-bayang yang seolah ‘mendefinisikan’ mereka yang juga disebut; stereotip.
Sheryl Sandberg dalam bukunya; Lean In, menyoroti bagaimana stereotip gender mempengaruhi persepsi terhadap perempuan yang berani, tegas, dan berjiwa pemimpin. Salah satu poin penting yang ia angkat adalah bahwa sejak kecil, anak perempuan yang menunjukkan sikap percaya diri, berani mengambil inisiatif, atau memimpin kelompok sering kali dilabeli sebagai "bossy" (sok berkuasa). Sebaliknya, anak laki-laki dengan sikap serupa justru dianggap menunjukkan potensi kepemimpinan.
Kontradiksi ini sampai pada titik diman peran perempuan dalam peradaban; melahirkan, menyusui, mendidik,—justru kerap mendapat diskriminasi dari peradaban itu sendiri. Kontradiksi ini menunjukkan adanya paradoks sosial yang rumit, seolah-olah peradaban tidak dapat berkembang tanpa perempuan, tetapi juga terus-menerus menempatkan mereka pada posisi rentan.
Menurutku, untuk mewujudkan kesetaraan gender, seharusnya perempuan ngga berjuang sendiri. Kesadaran bahwa kita semua ‘setara’ udah ada dalam pengetahuan kebanyakan orang, tapi implementasi untuk kesetaraan itu sendiri masih minim sekali wujudnya. Perlu adanya sistem dari pemerintah yang mengatur sektor-sektor di bawahnya untuk mendukung kesetaraan gender; cuti melahirkan untuk ayah misalnya, atau fasilitas daycare terpercaya saat seorang ibu harus bertahan dua-tiga jam lebih lama di kantornya.
Lalu kalau kita melihat dari perspektif moral dan kemanusiaan, sungguh ironi ketika kampanye perlindungan terhadap perempuan terus digaungkan, tetapi kasus kekerasan berbasis gender masih tinggi. Dalam banyak budaya, perempuan dihormati sebagai "Ibu Bangsa," tetapi partisipasi mereka dalam politik, pendidikan, atau ekonomi justru dibatasi. Memangnya apa sih yang membuat perempuan less-matter dibanding laki-laki? Kenapa saat kami memiliki keahlian yang mumpuni pada suatu bidang tertentu kami selalu dipandang sebelah mata hanya karena kami memiliki hormon estrogen yang lebih dominan dari laki-laki?
Belum lagi masalah diskriminatif yang selalu menjadikan perempuan korban. Bahkan ngga jarang perempuan yang jadi korban pun malah jadi pihak yang disalahkan. Pada kenyataannya, perempuan ngga pernah benar-benar leluasa bergerak bahkan dalam lingkungan keluarganya sendiri sekalipun. Berapa banyak kasus anak yang dilecehkan kakaknya? Atau ayahnya? Atau pamannya?. Perempuan ngga bisa belajar dengan tenang karena bahkan di lembaga pendidikan yang katanya terdidik pun, perempuan masih sering mendapat perlakuan ngga senonoh. Tempat ibadah, jalan-jalan pinggir kota, tempat umum;—bagi seorang perempuan, semua tempat yang bisa dihuni manusia itu serupa bilik-bilik keji yang mungkin aja jadi saksi bisu kejahatan-kejahatan ngga bermoral yang mungkin menimpa dirinya. Ngga pernah ada tempat yang benar-benar aman bagi kami.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia ini, aku berharap kesempatan, akses, harapan, cita-cita, keberanian, dan kasih sayang itu tumbuh subur dalam jiwa setiap perempuan. Ngga muluk-muluk. Mungkin berharap pada sistem pemerintahan untuk lebih memihak perempuan terlalu naif, maka aku berharap dalam diri setiap perempuan yang siangnya berjuang menembus macet menuju kantor atau kampus lalu malamnya pulang hanya untuk melihat rumah yang berantakan dan cucian piring menumpuk, semoga belulangmu makin kuat, hatimu makin tegar. Semoga seluruh perempuan mendapat kesempatannya pada waktu dan tempat yang tepat.