SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Agama dan Nilai Kemanusiaan Dalam Islam

Penulis : Sultan Ibnu Affan (Mahasiswa KPI Universitas Muhammadiyah Jakarta)

ilustrasi : google.com


 "Bahwa andaikata Nabi Muhammad datang lagi dalam dunia sekarang, menyaksikan bagian-bagian yang modern dan yang belum, serta melihat pikiran-pikiran yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara hadist-hadist nabi yang sekarang ini umumnya dipahami secara telanjang oleh pengiku-pengikutnya akan dicabut oleh Nabi Muhammad dari peredaran dan diganti dengan hadist-hadist yang baru" Ahmad Wahib.

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Agama tidak bisa dipahami hanya secara tekstual saja, melainkan berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab terhadap seluruh kesejahteraan manusia.

Agama, kata Talcott Parsons, adalah titik artikulasi antara sistem kultural dan sosial. Dalam hal ini, nilai-nilai dari sistem budaya terjalin dalam sistem sosial dan tentunya diwariskan, di interaksikan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Ia merupakan sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat dalam sistem masyarakat kepada sistem kepribadian individu.

Agama tidak bisa lepas bebas dari lingkungan sosial, dimana agama itu hadir dan berkembang. Ia tidak hadir dalam dunia kosong, melainkan hadir dalam masyarakat historis, masyarakat dengan tradisi, kebudayaan, moral, sistem yang disepakati dan aturan-aturan yang mengatur segala aktivitas masyarakat.

Munculnya beragam penafsiran keagamaan, oleh karena itu, perlu dipahami sebagai upaya untuk merevitalisasi peran Agama pada satu sisi dan menemukan pesan yang paling benar, yang tersirat dalam ajaran Agama.

Merevitalisasi peran Agama tentunya harus berlandaskan spirit hadirnya Agama dalam konteks kemanusiaan. Karena bagaimanapun juga, keberadaan agama merupakan upaya untuk membimbing manusia untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Jika hasil penafsiran dan pemahaman terhadap Agama menyebabkan terciderainya nilai-nilai kemanusiaan, maka yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks-teks keagamaannya.

Dalam hal ini, proses pengimplementasian Agama terhadap kemanusiaan sangat tergantung pada bagaimana cara pandang Agama tersebut dalam sisi kemanusiaannya. Agama menuntut untuk terbentuknya moral sosial yang langsung di anggap oleh Tuhan.

Jika pemahaman Agama dibiarkan begitu saja tanpa ada proses kontekstualisasi terhadap lingkungan sosialnya, maka tidak mustahil Agama menjadi "barang kuno" yang di anggap tak memiliki kegunaan. Yang pada awalnya hadir untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan, akan tampil menjadi sumber masalah.

Dewasa ini, tentunya kita dapat menjumpai kelompok-kelompok keagamaan yang mempromosikan pemahaman keagamaan baru yang "cukup aneh". Tidak jarang hal tersebut berimbas pada hilangnya spirit penghargaan terhadap kemanusiaan, dan menjadi sebab pula munculnya disintegrasi masyarakat. Toh, Agama itu tidak hadir untuk menjadikan manusia berubah status seperti malaikat, tetapi ia hadir untuk mengembalikan derajat kemanusiaan.

Dalam Islam, misalnya, dahulu Islam hadir dalam masyarakat Arab selain tujuan formalnya untuk menauhidkan penduduk disana, juga untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang pada saat itu sangat mencengkram bangsa Arab. Seperti perbudakan, penghinaan terhadap perempuan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, jika saat ini ada suatu kelompok keagamaan yang mempromosikan pemahaman atau melakukan tindakan-tindakan keagamaan yang memberanguskan nilai-nilai kemanusiaan, maka bisa dipastikan bahwa ia telah lalai dalam menangkap nilai paling dasar dalam Agama.

Abdurrahman Wahid, seorang ulama yang kerap disapa Gus Dur, beliau mengemukakan bahwa Agama harus dicerna sampai pada tataran nilai-nilai yang paling dalam, agar tidak terjebak dalam bentuk luarnya saja, yang terpenting ia harus mampu memberikan kemaslahatan bagi masyarakat.

Pada sisi lain, selama ini hukum Islam seolah-olah menjadi belenggu kehidupan umat manusia. Realitas sosial yang berkembang secara pesat dan rumit, seakan-akan harus menyesuaikan diri dan berada dalam ruang lingkup serta jangkauan hukum Agama yang dirumuskan pada masa lalu.

Dengan cara pandang ini, hukum Agama merupakan sesuatu yang paten, yang tidak bisa diubah dan menjadi standar baku kehidupan. Sehingga perkembangan yang tidak sesuai dengan hukum Islam harus ditolak dan dihindari, atau dipaksa sesuai dengan hukum Islam itu sendiri.

Maka, kalau memakai paradigma tersebut, hukum Islam menjadi "kaku dan mandek", sehingga tampak akan ketinggalan zaman bahkan anti perubahan. Padahal Islam akan ditantang oleh perkembangan zaman seperti pola kebudayaan yang bergerak dinamis, hak asasi manusia, demokrasi, negara dan semacamnya.

Agar hukum Islam tidak dapat membelenggu kehidupan manusia dan dapat memberi alternatif pemecahan masalah kemanusiaan, Gus Dur berpendapat bahwasannya formulasi hukum Islam itu bisa diubah sesuai dengan zamannya. Dengan kata lain, dalam penetapan hukumnya berlandaskan pada kaidah "yadurru hukmu ma'aillatihi wujudan wa 'adaman" (penerapan mengenai ada dan tidaknya suatu hukum, tergantung pada alasannya).

Kalau kita mau bertanya sedikit saja tentang mengapa dewasa ini muncul gerakan-gerakan keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, maka kita akan semakin sadar bahwa Agama seringkali dijadikan "budak" kepentingan manusia. Analisis historis kultural menunjukkan bahwa timbunan kepentingan terhadap Agama, tercerabut bahkan lepas dari tradisi kulturalnya. Hanya saja, perlu dipahami bahwa, perubahan-perubahan wajah Agama harus terjadi sebagai konsekuensi dari berubahnya pola pikir dan tata nilai masyarakat.

Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di medium.com pada 27 Desember 2019