SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Metode Pembelajaran Daring Menjadi Jalan Keluar Pendidikan Selama Pandemi

Penulis: Khoirunnisa (Mahasiswa KPI UMJ)

Editor: Ryas Ramzi

Ilustrasi: https://www.edweek.org/technology/like-it-or-not-k-12-schools-are-doing-a-digital-leapfrog-during-covid-19/2020/06


Pembelajaran daring bukan lagi hal yang jarang kita temui saat ini. Terlebih di saat masa Covid-19 menyerang seluruh Negara. Seiring berkembangnya dunia teknologi, Dunia boleh saja berbicara bahwa semua upaya kehidupan telah diharuskan beradaptasi dengan teknologi. Akan tetapi, fakta Indonesia lain. Justru pempelajaran di Indonesia yang diharuskan dan dianjurkan secara daring ini masih sangat minim. Pembelajaran daring tidak hanya memvirtualkan bahan pengajaran, tapi juga fasilitas. Selain itu, penyampaian pengajar dalam memberikan materi dan kemampuan daya tangkap para siswa melalui daring.

Pandemi ini menuntut segala lembaga untuk menggunaakan media digital dengan semaksimal mungkin. Mirisnya, penetrasi jaringan internet yang belum rata di penjuru daerah hingga berdampak pada proses pembelajaran yang kurang maksimal, mutu pembelajaran menjadi rendah, dan cukup rumit untuk di pahami dengan cepat. Selain itu, ada pula beberapa kegagapan para guru dan muridnya dalam mengakses teknologi. Bisa saja jaringan dan fasilitas lengkap, tetapi kemampuan kedua belah pihaklah yang sangat berpengaruh dalam penerapan sistem daring ini. Bahkan, kegagapan dari salah satu pihak malah memberi kecanduan pemikiran yang minimalis. Ketidakmaksimalan inilah yang menghadirkan ketidakpuasan dari sistem daring darurat selama Pandemic Covid-19.

Pendidikan dinilai sebagi salah satu sektor paling cepat dalam menanggapi penyebaran Covid-19. Maka dari itu, bukan hanya sekolah, tapi juga universitas pun ditutup untuk sementara. Seluruh Pendidikan dialihkan ke rumah. Seluruhnya berlangsung di Rumah. Proses belajar mengajar akhirnya tersendat, mengingat metode distribusi pengetahuan dirasa kurang optimal dan memadai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun menerapkan kebijakan sistem belajar dari rumah (daring).

Belajar di rumah membuat mereka yang malas, semakin merdeka. Apa maksud merdeka dalam konteks belajar dari rumah? Dari fenomena dan kesan umum yang terlihat, proses belajar justru di luar kendali. Belajar dari rumah untuk konteks pelajar SD-SMA adalah liburan. Kita tidak bisa menyangkal bahwa efektivitas kegiatan belajar dengan pantuan jarak jauh oleh para pendidik dan bimbingan langsung dari orang tua hanya berlangsung di pekan awal. Saat industri telekomunikasi memasuki Era Normal Baru, berada di rumah selama pandemi diharapkan tetap produkif dalam belajar. Akan tetapi, kadang kadang orang justru merasa bebas-merdeka untuk belajar.

Pasca instruksi pemerintah untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ataupun beribadah dari rumah dan lain sebagainya. Membuat situasi di Indonesia menjadi beda. Hal ini juga berdampak dalam proses pendidikan. Bagaimana tidak, hampir 100% aktivitas kerja dan sekolah dilakukan dari rumah. Dengan fenomena ini teknologi menjadi penguasa yang membius mata masyarakat. Serba-serbi kehidupan diwarnai oleh dunia online. Dengan adanya sistem ini seolah semua orang telah pandai dengan sistem daring.

Akan tetapi, fenomena di dunia nyata mengonfirmasi adanya kendala yang tak terelakan. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua berasal dari keluarga kelas menengah ke atas. Tidak semua pelajar dan pengajar di Indonesia menikmati proses milenial ini. Tidak semua memiliki HP dan laptop. Ada yang punya tetapi susah untuk mendapatkan akses internet. Bahkan di daerah tertentu tidak ditemukan jaringan internet. Ada pula yang tidak memiliki keduanya.

Selain itu, kapabilitas dan kreativitas para dosen adalah salah satu tuntutan terbesar dalam sistem pembelajaran daring atau jarak jauh di satu sisi. Di lain sisi, ketekunan, keseriusan para siswa menjadi tuntutan berbeda. Akan tetapi, keduanya tidak lepas dari jaringan atau koneksi. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor penentu dalam pelaksaan pembelajaran online. Sistem ini sebenarnya sebuah peralihan metode face to face ke metode screen to screen. Dasarnya adalah ketersediaan semua informasi yang relevan melalui jaringan dengan menghubungkan orang, benda dan sistem dioptimalkan, terorganisir secara mandiri dan penciptaan nilai lintas jaringan yang dapat sesuai dengan berbagai kriteria. Seperti biaya, ketersediaan, dan sumber daya. Tentunya sistem ini mempunyai visi yang sangat membantu para siswa dan pengajar dalam keadaan apa pun dan di mana pun agar tetap bisa melaksanakan pembelajaran.

Intensitas ketertarikan pada sistem belajar online tentunya membuat seseorang tidak produktif dan memilih absen. Padahal, kehadiran merupakan salah satu tolok ukur dalam membantu proses internalisasi pendidikan dalam kegiatan belajar. Pembelajaran online—dengan  kata lain menambah beban pembelajaran karena harus membeli data agar bisa masuk dalam kelas video-conference dan mendownload-upload tugas- tugas.

Sistem pembelajaran daring di tengah pandemi adalah sebuah solusi dan sekaligus menghambat kecerdasan. Mengapa demikian? Dapat dikatakan solusi jika pihak sekolah telah memberikan input dan praktik skill dalam penetrasi berbagai fasilitas e-learning. Pemantapan dalam soal fasilitas dan skill para pengajar menjadi salah satu standar penting dalam pembelajaran daring. Sementara di lain sisi, dapat dikatakan sebagai penghambat jika proses pembelajaran yang terjadi dalam kebingungan. Entah karena sarana maupun skill minimalis dari para pengajar.

Hal ini diafirmasi oleh banyaknya keluhan dari para orang tua siswa. Pembelajaran online hanyalah judul belaka. Tidak sedikit guru yang kebingungan. Dalam waktu singkat harus mempelajari macam-macam sarana pembelajaran daring. Karena tuntutan segera melanjutkan proses pembelajaran, metode ralat dan galat trial and error terpaksa diterapkan. Kemudian, yang terjadi adalah para pengajar hanya memberikan tugas online setiap kali jam pelajarannya, tanpa mengadakan tatap muka dengan menggunakan berbagai aplikasi yang ada.

Situasi sekarang sangat memberi beban pada para siswa dan membuat pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang membosankan. Bahkan, bisa sampai pada titik kejenuhan dan berdampak pada tidak berkualitasnya pendidikan yang diperoleh. Siswa terengah-engah mengikuti proses pembelajaran. Dalam sekejap tugas menumpuk. Mereka dituntut bertransformasi jadi pembelajar mandiri dalam waktu semalam. Ini didasarkan kegagapan para pengajar yang tidak mempunyai skill khusus dalam bidang ini atau tidak adanya keseriusan dari pihak sekolah dalam merespons dan memaksimalkan perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan. Hal ini nyata ketika dunia pendidikan berhadapan dengan situasi pandemi. Ada begitu banyak lembaga pendidikan yang tidak siap untuk melaksanakan sistem pembelajarannya secara online. Jika terjadi, maka itu bisa saja ikut-ikutan dan terpaksa.

Reformasi pendidikan yang berasal dari pengembangan model kurikulum virtual akan berdampak pada terciptanya sistem pendidikan gaya baru. Lyn Haas menegaskan bahwa pendidikan itu harus bersifat demokratis, yakni; pendidikan untuk semua. Hal ini senada dengan spirit pasal 31 ayat (1) UUD 1945, “semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Maka, semua mahasiswa dan pengajar seharusnya memperoleh perlakuan yang sama, memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, kemampuan komunikasi global.