Secercah Cahaya Sang Bintang
“Jika masih ada bintang
bertaburan di langit Cakrawala, maka kan ku perjuangkan untuk menggapainya, bagaimanapun caranya”
….
Semilir angin dini hari
menuju pagi itu membangunkan Prastio dengan dinginnya yang menusuk, dengan
sayup-sayup ia membuka matanya perlahan. Sepagi ini, Ia awali harinya dengan
membantu Ibunya membereskan rumah dan membuat adonan kue untuk dijual dari
warung ke warung, dan hasilnya dibuat untuk kehidupan sehari-hari.
Masih sangat belia,
Prastio, sudah harus menggantikan pekerjaan seorang Ayah menjadi tulang
punggung keluarga, membantu kuli di toko milik Baba Ahong setiap pulang
sekolah, lebih tepatnya setelah Sholat Zuhur. Di rumah Ia langsung bergegas
pergi ke toko Baba Ahong dan makan siang disana, diberi makan oleh Baba dan
setelah itu ia langsung membantu mengangkat kardus dan mengantarkan barang
dagangan Baba Ahong kepada pembeli dengan troli besi.
Ia harus melakukannya,
karena Prastio adalah seorang yatim sejak tiga tahun yang lalu. Ayahnya
meninggal karena sakit keras yang dideritanya, dan keluarga tak mampu mengobati
karena ketiadaan biaya. Ia memiliki tanggung jawab kepada Ibu dan Adiknya yang
berusia 4 tahun. Terkadang, Mbok nya yang dari kampung datang ke Jakarta,
menginap di gubuk kecilnya yang beratapkan bilah bambu yang sebenarnya
kurang layak—namun tak ada pilihan lain
selain tinggal didalamnya.
“Ndok, iki wis Ibu
bikinin bekal buat dibawa, ojo lali iki loh.”
“Nggih, Bu, Nuhun. Wis aku pamit jalan ke sekolah dulu. Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wis
Wa’alaikumussalam, hati-hati kamu ndok, Ibu do’ain kamu sukses."
“Nggih Bu.”
Prastio melangkahkan kaki
menuju kesekolah dengan seragam sederhananya, kiranya sudah 3 tahun ia tak
membeli seragam baru lagi dan memilih untuk tetap memakainya. Sepatu yang
hampir jebol, dan tas yang sudah using, dijahit berkali-kali sehingga banyak
sekali tambelan-- dan kini ia
sudah kelas 6 Sekolah Dasar dan akan lulus sekolah. Setelah itu, ia masuk ke
jenjang Sekolah Menengah Pertama. Mau tidak mau, Ia harus membeli seragam baru,
pasti ini terdengar membebankan baginya. Di jalan, Ia selalu melipir terlebih
dahulu kerumah temannya, Sigiora Salambessy, anak laki-laki yang menjadi teman
karibnya di kala suka maupun duka sejak 2 tahun yang lalu. Yap, tepatnya ketika
kelas 4 SD.
Kala itu anak laki-laki
yang kerap disapa Gio pindah dari kampung halamannya di Jayapura ke Jakarta
untuk tinggal bersama Paman dan Bibinya. Lantaran ke dua Orang Tua Gio tak
mampu membiayai hidupnya disana karena memiliki banyak anak dan sulitnya
pendidikan, terpaksa Ia tinggal di Jakarta dengan keluarga Paman dan Bibinya
yang sederhana pula, dan hanya tinggal di kontrakan sepetak bersama dengan 4
saudara lainnya—atau bisa dikatakan
sepupu, tetapi masih mampu untuk membantu membiayai hidup Gio.
“Gio… Permisi. Gio.”
Prastio memanggil-manggil
Gio dan tak lama ia keluar.
“Hai, beta su tunggu kau
daritadi” (Hai, aku sudah tunggu kamu daritadi)
“Iyo, maaf tadi aku sing
nyapu dulu dirumah trus aku anter dagangane Ibu ke warung nya Baba Ahong iku
loh, iki hari Sabtu kan yoh? Nah sekalian aku ambil uang hasil dagangane Ibu”
“Oh, yasudah beta lupa. Mari jalan.”
“Sek…sek (sebentar
sebentar) kamu udah pamit toh? Ko tumben langsung tutup pintu?”
“Su beta su bilang tadi,
tra mungkin beta pergi tra bilang?” (sudah aku sudah bilang tadi, gak mungkin
aku pergi gak bilang?”
“Yowis. Yuk, jalan.”
Di setiap harinya mereka
berjalan bersama pergi ke sekolah seperti ini. Tidak hanya pergi, tetapi juga pulang, bahkan
main bersama dirumah. Jembatan kali dekat tempat tinggal Gio-lah pilihannya.
Hampir 45 menit mereka berjalan bersama, atau kurang lebih 3,5 kilometer mereka
sampai disekolah. Hebatnya, walaupun rumah mereka terbilang jaraknya lumayan
dan harus berjalan kaki sejauh itu, mereka tidak pernah telat untuk sampai ke sekolah.
Mereka berdua selalu antusias dan semangat untuk ikut belajar di sekolah
walaupun dengan segala hambatan dan kekurangan yang ada.
Setiap sampai disekolah, kalau
sempat Gio pasti ke kamar mandi terlebih dahulu. Singkat cerita, Gio menyukai
teman sekelasnya yang juga sekelas dengan Prastio. Namanya Fielda. Entah
mengapa, baginya Fielda seperti bidadari yang turun dari langit. Kecantikannya
begitu menarik perhatian. Pipinya yang chubby dan senyum manisnya, juga
semakin cantik dibalut dengan jilbabnya membuat Gio semakin salah tingkah
ketika melihatnya—atau bahkan jika sampai disapa dengannya, bisa pingsan
mungkin. Benar saja, tak lama Fielda lewat depan pintu dan hendak masuk kedalam
kelas.
Gio memang begitu senang
menunggu Fielda di depan pintu saat sebelum masuk kelas. Katanya agar tidak ketinggalan
menyapa Fielda dan memberi semangat. Padahal, Prastio yakin Fielda pun biasa
saja dan tidak terlalu mengindahkan sapaan atau semangat dari Gio, hahaha.
Mereka mengikuti
pelajaran demi pelajaran, satu demi satu mereka selesaikan. Tak lupa pula
mereka mengumpulkan tugas yang telah diberikan. Walaupun Gio terkesan seperti
anak yang tidak bisa diam dan suka tebar pesona tidak penting, tapi Ia selalu
rajin mengerjakan tugas, tanpa kecuali dari gurunya. Gio memang sangat suka
sekali tebar pesona. Ber siul di kala teman perempuannya lewat
didepannya, dan menyapa dengan “Hai” nya yang unik sehingga memang menarik
perhatian yang lewat didepannya, dan Prastio pun hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tingkah temannya itu.
Matahari sudah berada
tepat di atas kepala, panasnya menyerap banyak energi dan teriknya terasa
sangat menusuk hingga ke punggung. Kala itu pula, Prastio dan Gio harus
bertaruh melawan panas untuk sampai kerumah, sangat melelahkan tapi ini sudah
biasa. Seperti biasa didalam perjalanan pulang, Gio selalu bercerita tentang
Fielda, apapun itu dan cerita akan menjadi semakin intens atau bahkan berubah
menjadi haru. Ketika hari itu Fielda cuek kepadanya, dan Prastio hanya bisa
tertawa dan mengiyakan saja.
“Sabar yo kawanku.” Kata
Prastio di saat Gio bercerita kalau ia sedang sedih karena Fielda acuh, bahkan
acapkali tidak peduli terhadapnya. Walaupun begitu, tetap saja setelah itu ada
drama tertawanya. Alih- alih ingin membuat Gio tertawa juga dan melupakan
kesedihannya terhadap Fielda, malah Gio merasa kesal karena merasa ceritanya
tak didengar, dan Prastio pun bingung harus bagaimana.
Waktu berputar begitu
cepat dan tak terasa akhirnya mereka sampai pada tujuannya masing-masing,
mereka berpisah didepan gang rumah Gio karena rumah Gio lebih dulu dilewati
daripada rumah Prastio, hanya berbeda 4 gang saja namun tidak terlalu jauh
juga.
“Pras, beta sudah sampai
beta duluan yoh, hati-hati kau orang di jalan” “Yo wis, eh Gi, entar iki malem
minggu toh? Wes jembatan yoh” “Okelah santai, beta tunggu kau orang nanti jam
8, oke”
“Okesiap”
“Siplah, jangan lupa kau
orang, semangat kawan (sambil menepuk bahu ku) jangan lupa kau ibadah sampai
rumah dan bekerja dengan gigih, do’aku padamu kawan walaupun cara kita tak sama
dalam meminta, semangat”
Prastio pun tersenyum
manis dan menggenggam tangan Gio dengan erat. Walaupun banyak perbedaan yang
menghampiri mereka berdua, tetapi mereka tetap rukun dan saling toleransi.
Prastio berjalan pulang
kerumah untuk bersih bersih dan Sholat Zuhur terlebih dahulu, lalu bersiap ke
toko Baba Ahong, ia harus cepat-cepat ke toko Baba Ahong karena perutnya sudah
lapar sekali, dan Ia hanya bisa makan di toko Baba Ahong agar diberi makan
gratis, juga mengurangi jatah makan di rumah. Ia bergegas jalan menuju warung
Baba Ahong dengan sedikit berlari, terkadang sambil bernyanyi lagu campursari
kesukaannya.
“Permisi, Baba Ahong”
“Oi kamu orang sudah dating
nah. Itu tuh ada kardus mie dua tuh, kamu tolong Baba dulu anterin dua kardus
mie ke warung soto depan gang, kamu minta sama si Aris tuh catatannya”
“Oh, nggih Baba”
Selain harus cepat-cepat
sampai di toko Baba Ahong, faktor keberuntungan juga jadi salah satu hal yang
penting. Karena jika tidak, maka pasti ada saja tugas yang harus dikerjakan
terlebih dahulu di toko Baba Ahong dan itu akan menundanya untuk makan siang.
Setelah ia mengantarkan
semua barang yang telah diperintahkan Baba Ahong, ia pun segera kembali ke toko
dan menuju ke dapur se-segera mungkin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan
sedari tadi. Ia makan dengan begitu lahapnya walaupun hanya dengan telur kecap,
nasi, kerupuk dan sambal. Setelah beres makan, Ia mencuci piring dan menyapu
serta membersihkan halaman rumah Baba Ahong.
Selain membantu di toko, Prastio
juga membantu membereskan rumah Baba Ahong dan seisinya, lantai satu dijadikan
toko dan lantai dua dijadikan tempat tinggal, karena Baba Ahong sudah tak
tinggal bersama anak-anaknya lagi. Anak- anak Baba Ahong sudah berumah tangga
dan tidak tinggal lagi bersamanya, jadi bisa dibilang Prastio, Aris dan
karyawan Baba Ahong yang lainnya, dirasa seperti anak baginya.
Peluh keringat kian
semakin banyak yang menetes dari tubuh kecilnya Prastio. Setelah selesai
membereskan rumah Baba Ahong, Prastio langsung pergi ke agen besar untuk
membeli barang-barang yang telah habis di toko bersama dengan Aris.
Sore tiba, cuaca pun
mulai menghangat dan kini ia tak begitu merasakan panas yang menyengat lagi
seperti tadi siang. Sesampainya di agen besar, Ia langsung membeli barang-barang
yang ada di catatan dan segera merekap apa saja yang sudah dibeli—berapa jumlah
dan pengeluarannya sesuai dengan nota bon. Lalu setelah semuanya sudah dicatat,
Prastio segera mengangkat galon dan kardus berisikan barang yang telah dibeli
tadi kedalam truk, dan mereka kembali ke toko.
“Sudah semua belum Pras?”
“Sudah Mas”
“Yaudah yuk kita
berangkat” “Nggih Mas”
Bersegeralah mereka
kembali ke toko.
Mas Ari adalah karyawan
lainnya di toko Baba Ahong. Awalnya Baba Ahong memiliki beberapa karyawan, ada sekitar
5 orang, namun satu persatu mulai meninggalkan pekerjaannya disini. Satu orang
orang keluar dari toko ini karena memilih pekerjaan lain—dua lainnya pernah
kepergok mencuri barang sebanyak 4 kali, dan sebelum 2 orang ini pergi dan
berhenti bekerja di toko Baba Ahong. Mereka mengambil uang Baba Ahong di toko
dengan nominal yang tak sedikit, terbilang jutaan rupiah dan membuat Baba Ahong
merugi saat itu. Maka dari itu, hanya tinggal mereka lah berdua yang tinggal
tetap bekerja di toko Baba Ahong dan menjadi karyawan kepercayaan.
Aris dan Prastio memiliki
perbedaan umur yang jauh, Aris adalah anak yatim piatu yang merantau ke Jakarta
sejak 6 tahun yang lalu, sempat putus sekolah namun takdir baik berpihak
kepadanya. Setelah bertemu dengan Baba
Ahong, Aris di sekolahkan kembali oleh Baba Ahong dan tinggal di ruko bersamanya
dan Cici Meilani, istri Baba Ahong.
Baginya, Prastio dan Aris
sudah seperti anak sendiri, walaupun Baba dan Ci Mei berbeda keyakinan dengan
Aris, namun ia tetap diperbolehkan ibadah disana dan Aris adalah seorang
Muslim.
Di jalan mereka
berbincang-bincang bernostalgia mengapa ia bisa berada sampai di titik ini,
Aris yang masih bisa memiliki kesempatan bersekolah dan Prastio masih memiliki
kesempatan untuk menafkahi Ibu dan adiknya serta masih bisa melanjutkan
sekolah.
“Pras, kalau diingat-ingat
waktu pertama kali mas sampai di Jakarta, sedih banget ya. Gatau mau kemana. Disuruh
saudara ke Jakarta jauh-jauh dari Lampung ternyata saudara yang dicari enggak
jelas alamatnya dimana, untung gusti Allah masih berbaik hati ya ada Baba Ahong
yang nolong”
“Iyo mas, Alhamdulillah yo masih ada Allah mau nolong kita lewat Baba, kalo ndak ada waduh bingung aku Mas.” Jawab Prastio.
“Nah, iya. Apalagi kamu
lihat coba dulu mas Karyo sama bang Ubet, pernah kepergok nyuri karena untuk
berobat istrinya mas Karyo yang kena kanker. Gak ada biaya sampai akhirnya
mencuri. Tapi sayang setelah itu gak lama istrinya meninggal. Mas Karyo ga
balik kerja karena malu sama Baba dan Bang Ubet juga yang nolong Mas Karyo
dipecat sama Baba. Yah namanya hidup, pasti perjuangan dan pengorbanannya ada
aja, ya.”
“Pasti Mas, dan yang
pasti juga berjuangnya dengan jalan yang baik.”
Tak lama pun mereka
sampai di toko dan menurunkan barang. Prastio langsung sibuk menurunkan barang
dan mengantar barang pesanan seperti galon dan barang- barang yang terbungkus di
dalam kardus lainnya. Ia begitu nampak lelah hari ini. Ketika mengangkat galon,
Prastio pingsan, dan ketika terbangun hanya ada mas Aris. Pipinya bengkak,
karena ketika pingsan wajahnya tertimpa gallon. Pipinya pun dikompres oleh mas
Aris. Ketika terbangun, Prastio pun langsung duduk dan menyegarkan mata sendiri
agar kuat untuk kembali bekerja, agar Ia bisa pulang dan bisa belajar serta
mengerjakan tugas yang diberikan tadi disekolah.
“Kamu kuat Pras? Udah
biar mas aja yang ngerjain, kamu istirahat aja dulu.”
“Ndak papa Mas. Supaya
kerjaan saya cepat selesai dan saya bisa belajar dirumah.”
“Ya Allah, kamu pasti
cape ya, sekolah jalan kaki pulang pergi yaudah mas bantu ya, untung pipi kamu
hanya bengkak sedikit Pras, galonnya enggak kena wajah kamu semua, lebih baik
galonnya pecah ke lantai daripada kena wajahmu, untung galonnya cuma mampir. Tapi tetap sakit kan”
“Nggih mas, nuhun. Yo
emang gini toh kalau mau dapat uang, wong aku iki ndak papa, koyo gini aja toh
nanti wis sembuh sendiri lukane.”
Langit kini semakin
meredup dan gelapnya malam mulai menampakkan diri, Pras cepat-cepat menuntaskan
pekerjaannya dan cepat kembali kerumah untuk belajar dan bertemu dengan Gio di
jembatan biasa mereka bertemu.
Dalam perjalanan pulang,
Prastio meneteskan air mata sambil menganyunkan kaki kecilnya yang tertatih,
menahan perih dan lelah yang menjadi makanan sehari-harinya. Ia menutup semua
luka yang menghampiri dirinya dengan senyum manis lugu layaknya anak-anak
lainnya yang seusia dengannya. Untuk anak-anak seusianya, seharusnya adalah
saat-saat menikmati masa bermainnya. Namun tidak untuk Prastio, ia harus
menanggung beban dan berjuang untuk menghidupi dirinya, Ibu, serta adiknya,
menjadi tulang punggung keluarga.
Sesampainya dirumah, Prastio
melihat mata pelajaran yang telah diberikan tugas tadi serta mengulang lagi
materi yang telah diberikan oleh guru disekolah. Di balik gubuk kecil,
berdindingkan bambu itu dan berlampukan bohlam sederhana yang tak begitu terang
serta tempat seadanya, Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Prastio memahami apa
yang belum Ia pahami dari penjelasan yang telah diberikan guru tadi di sekolah.
Setelah selesai belajar, Ia
langsung membereskan semua bukunya, lalu Sholat Isya dan bertemu dengan Gio di
jembatan kali dekat rumah mereka yang menjadi markas favorit pertemuannya.
Prastio menyusuri jalan
redup di malam itu yang hanya diterangi oleh lampu jalan saja menuju jembatan, dan
ditemani riuh angin malam nan syahdu—namun cukup ramai saat itu karena malam
minggu, jadi banyak anak-anak bermain disana. Tak lama akhirnya Ia sampai, dan
ternyata Gio sudah menunggu dirinya sedari tadi. Bahkan bisa dibilang cukup
lama. Ketika Pras dating, Gio pun terkejut melihat pipi Pras yang membengkak
dan membiru,
“Hai kawan, kau orang
kenapa?”
“Wis iki ra popo, kamu santai
aja, hehe. Ini tadi cuma tertimpa sama galon aja, tadi aku pingsan pas lagi
kerja di toko Baba Ahong.”
“Heyyy kau orang, aduh su
beta katakan pada kau, jangan lelah lelah.”
Tak lama Gio pun
meneteskan air mata dan memeluk sambil menepuk-nepuk pundak Pras.
“Kawan, beta tau
perjuangan kau, kau akan menjadi contoh bintang kehidupan beta kawan, kau orang
bukti perjuangan hidup itu keras. Kau cari uang untuk kau, kau cari uang untuk
mamak kau, adik kau, ku doakan kau sehat selalu kawan.”
“Iyo, nuhun yo, eh ndak
usah nangis koyo iku loh, hehe. Santai, setiap orang hidupnya pasti akan ada
perjuangannya masing-masing, iya toh? Coba kamu lihat ke langit tuh, gelap kan
yo, hitam? Tapi masih bersinar karena ada bintangnya. Nah, walaupun hidup kita
melelahkan, gelap dan banyak sedihnya, kita masih harus berjuang. Setidaknya
untuk napas dan diri kita sendiri. Gi…kita harus bisa sukses, kita harus jadi
bintang itu, memberi terang pada kegelapan malam. Sekarang bagaimanapun caranya
kita harus bisa, kita harus gapai, kita berjuang bareng- bareng yoh.”
“Terimakasih kawan, kau
sudah nasehatin beta macam ini, ku doa’akan Tuhan selalu memberkatimu selalu
kawan.”
“Iyo aamiin yoh, kamu
juga toh. Tetap berusaha, berdo’a dan berjuang!”
Riuh angin membawa
ketenangan dalam permbicaraan mereka berdua, siapa sangka pertemuan kedua
laki-laki cilik kecil itu menjadi penyemangat berjuang dalam hidup satu sama
lain, saling mendo’akan dan memberi nasehat untuk tetap meneruskan perjuangan
dalam hidup yang pahit ini. Hari semakin larut dan malam semakin pekat serta
angin yang nampaknya sudah mulai tak terdengar syahdu lagi, tak lama turun
rintik hujan yang mengharuskan mereka kembali pulang kerumah masing-masing.
“Perjuangan dalam hidup
sebenarnya adalah untuk napas kita sendiri, dan pejuang sejati itu adalah kita,
maka lakukan yang terbaik didalam setiap perjuangan karena waktu untuk berjuang
yang telah terbuang tak akan bisa kembali, jangan biarkan perjuangan ini
terhapus sia-sia”
Salam Perjuangan.