SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Secercah Cahaya Sang Bintang

Penulis: Sintia Nur Cahyani (Mahasiswa KPI UMJ)



“Jika masih ada bintang bertaburan di langit Cakrawala, maka kan ku perjuangkan untuk menggapainya, bagaimanapun caranya”

….

Semilir angin dini hari menuju pagi itu membangunkan Prastio dengan dinginnya yang menusuk, dengan sayup-sayup ia membuka matanya perlahan. Sepagi ini, Ia awali harinya dengan membantu Ibunya membereskan rumah dan membuat adonan kue untuk dijual dari warung ke warung, dan hasilnya dibuat untuk kehidupan sehari-hari.

Masih sangat belia, Prastio, sudah harus menggantikan pekerjaan seorang Ayah menjadi tulang punggung keluarga, membantu kuli di toko milik Baba Ahong setiap pulang sekolah, lebih tepatnya setelah Sholat Zuhur. Di rumah Ia langsung bergegas pergi ke toko Baba Ahong dan makan siang disana, diberi makan oleh Baba dan setelah itu ia langsung membantu mengangkat kardus dan mengantarkan barang dagangan Baba Ahong kepada pembeli dengan troli besi.

Ia harus melakukannya, karena Prastio adalah seorang yatim sejak tiga tahun yang lalu. Ayahnya meninggal karena sakit keras yang dideritanya, dan keluarga tak mampu mengobati karena ketiadaan biaya. Ia memiliki tanggung jawab kepada Ibu dan Adiknya yang berusia 4 tahun. Terkadang, Mbok nya yang dari kampung datang ke Jakarta, menginap di gubuk kecilnya yang beratapkan bilah bambu yang sebenarnya kurang layak—namun  tak ada pilihan lain selain tinggal didalamnya.

“Ndok, iki wis Ibu bikinin bekal buat dibawa, ojo lali iki loh.”

“Nggih, Bu, Nuhun. Wis aku pamit jalan ke sekolah dulu. Assalamu’alaikum, Bu.”

“Wis Wa’alaikumussalam, hati-hati kamu ndok, Ibu do’ain kamu sukses."

“Nggih Bu.”

Prastio melangkahkan kaki menuju kesekolah dengan seragam sederhananya, kiranya sudah 3 tahun ia tak membeli seragam baru lagi dan memilih untuk tetap memakainya. Sepatu yang hampir jebol, dan tas yang sudah using, dijahit berkali-kali sehingga banyak sekali tambelan--    dan kini ia sudah kelas 6 Sekolah Dasar dan akan lulus sekolah. Setelah itu, ia masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama. Mau tidak mau, Ia harus membeli seragam baru, pasti ini terdengar membebankan baginya. Di jalan, Ia selalu melipir terlebih dahulu kerumah temannya, Sigiora Salambessy, anak laki-laki yang menjadi teman karibnya di kala suka maupun duka sejak 2 tahun yang lalu. Yap, tepatnya ketika kelas 4 SD.

Kala itu anak laki-laki yang kerap disapa Gio pindah dari kampung halamannya di Jayapura ke Jakarta untuk tinggal bersama Paman dan Bibinya. Lantaran ke dua Orang Tua Gio tak mampu membiayai hidupnya disana karena memiliki banyak anak dan sulitnya pendidikan, terpaksa Ia tinggal di Jakarta dengan keluarga Paman dan Bibinya yang sederhana pula, dan hanya tinggal di kontrakan sepetak bersama dengan 4 saudara lainnya—atau  bisa dikatakan sepupu, tetapi masih mampu untuk membantu membiayai hidup Gio.

“Gio… Permisi. Gio.”

Prastio memanggil-manggil Gio dan tak lama ia keluar.

“Hai, beta su tunggu kau daritadi” (Hai, aku sudah tunggu kamu daritadi)

“Iyo, maaf tadi aku sing nyapu dulu dirumah trus aku anter dagangane Ibu ke warung nya Baba Ahong iku loh, iki hari Sabtu kan yoh? Nah sekalian aku ambil uang hasil dagangane Ibu”

“Oh, yasudah beta lupa. Mari jalan.”

“Sek…sek (sebentar sebentar) kamu udah pamit toh? Ko tumben langsung tutup pintu?”

“Su beta su bilang tadi, tra mungkin beta pergi tra bilang?” (sudah aku sudah bilang tadi, gak mungkin aku pergi gak bilang?”

“Yowis. Yuk, jalan.”

Di setiap harinya mereka berjalan bersama pergi ke sekolah seperti ini.  Tidak hanya pergi, tetapi juga pulang, bahkan main bersama dirumah. Jembatan kali dekat tempat tinggal Gio-lah pilihannya. Hampir 45 menit mereka berjalan bersama, atau kurang lebih 3,5 kilometer mereka sampai disekolah. Hebatnya, walaupun rumah mereka terbilang jaraknya lumayan dan harus berjalan kaki sejauh itu, mereka tidak pernah telat untuk sampai ke sekolah. Mereka berdua selalu antusias dan semangat untuk ikut belajar di sekolah walaupun dengan segala hambatan dan kekurangan yang ada.

Setiap sampai disekolah, kalau sempat Gio pasti ke kamar mandi terlebih dahulu. Singkat cerita, Gio menyukai teman sekelasnya yang juga sekelas dengan Prastio. Namanya Fielda. Entah mengapa, baginya Fielda seperti bidadari yang turun dari langit. Kecantikannya begitu menarik perhatian. Pipinya yang chubby dan senyum manisnya, juga semakin cantik dibalut dengan jilbabnya membuat Gio semakin salah tingkah ketika melihatnya—atau bahkan jika sampai disapa dengannya, bisa pingsan mungkin. Benar saja, tak lama Fielda lewat depan pintu dan hendak masuk kedalam kelas.

Gio memang begitu senang menunggu Fielda di depan pintu saat sebelum masuk kelas. Katanya agar tidak ketinggalan menyapa Fielda dan memberi semangat. Padahal, Prastio yakin Fielda pun biasa saja dan tidak terlalu mengindahkan sapaan atau semangat dari Gio, hahaha.

Mereka mengikuti pelajaran demi pelajaran, satu demi satu mereka selesaikan. Tak lupa pula mereka mengumpulkan tugas yang telah diberikan. Walaupun Gio terkesan seperti anak yang tidak bisa diam dan suka tebar pesona tidak penting, tapi Ia selalu rajin mengerjakan tugas, tanpa kecuali dari gurunya. Gio memang sangat suka sekali tebar pesona. Ber siul di kala teman perempuannya lewat didepannya, dan menyapa dengan “Hai” nya yang unik sehingga memang menarik perhatian yang lewat didepannya, dan Prastio pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat tingkah temannya itu.

 ....

Matahari sudah berada tepat di atas kepala, panasnya menyerap banyak energi dan teriknya terasa sangat menusuk hingga ke punggung. Kala itu pula, Prastio dan Gio harus bertaruh melawan panas untuk sampai kerumah, sangat melelahkan tapi ini sudah biasa. Seperti biasa didalam perjalanan pulang, Gio selalu bercerita tentang Fielda, apapun itu dan cerita akan menjadi semakin intens atau bahkan berubah menjadi haru. Ketika hari itu Fielda cuek kepadanya, dan Prastio hanya bisa tertawa dan mengiyakan saja.

“Sabar yo kawanku.” Kata Prastio di saat Gio bercerita kalau ia sedang sedih karena Fielda acuh, bahkan acapkali tidak peduli terhadapnya. Walaupun begitu, tetap saja setelah itu ada drama tertawanya. Alih- alih ingin membuat Gio tertawa juga dan melupakan kesedihannya terhadap Fielda, malah Gio merasa kesal karena merasa ceritanya tak didengar, dan Prastio pun bingung harus bagaimana.

.... 

Waktu berputar begitu cepat dan tak terasa akhirnya mereka sampai pada tujuannya masing-masing, mereka berpisah didepan gang rumah Gio karena rumah Gio lebih dulu dilewati daripada rumah Prastio, hanya berbeda 4 gang saja namun tidak terlalu jauh juga.

“Pras, beta sudah sampai beta duluan yoh, hati-hati kau orang di jalan” “Yo wis, eh Gi, entar iki malem minggu toh? Wes jembatan yoh” “Okelah santai, beta tunggu kau orang nanti jam 8, oke”

“Okesiap”

“Siplah, jangan lupa kau orang, semangat kawan (sambil menepuk bahu ku) jangan lupa kau ibadah sampai rumah dan bekerja dengan gigih, do’aku padamu kawan walaupun cara kita tak sama dalam meminta, semangat”

Prastio pun tersenyum manis dan menggenggam tangan Gio dengan erat. Walaupun banyak perbedaan yang menghampiri mereka berdua, tetapi mereka tetap rukun dan saling toleransi.

Prastio berjalan pulang kerumah untuk bersih bersih dan Sholat Zuhur terlebih dahulu, lalu bersiap ke toko Baba Ahong, ia harus cepat-cepat ke toko Baba Ahong karena perutnya sudah lapar sekali, dan Ia hanya bisa makan di toko Baba Ahong agar diberi makan gratis, juga mengurangi jatah makan di rumah. Ia bergegas jalan menuju warung Baba Ahong dengan sedikit berlari, terkadang sambil bernyanyi lagu campursari kesukaannya.

“Permisi, Baba Ahong”

“Oi kamu orang sudah dating nah. Itu tuh ada kardus mie dua tuh, kamu tolong Baba dulu anterin dua kardus mie ke warung soto depan gang, kamu minta sama si Aris tuh catatannya”

“Oh, nggih Baba”

Selain harus cepat-cepat sampai di toko Baba Ahong, faktor keberuntungan juga jadi salah satu hal yang penting. Karena jika tidak, maka pasti ada saja tugas yang harus dikerjakan terlebih dahulu di toko Baba Ahong dan itu akan menundanya untuk makan siang.

Setelah ia mengantarkan semua barang yang telah diperintahkan Baba Ahong, ia pun segera kembali ke toko dan menuju ke dapur se-segera mungkin untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi. Ia makan dengan begitu lahapnya walaupun hanya dengan telur kecap, nasi, kerupuk dan sambal. Setelah beres makan, Ia mencuci piring dan menyapu serta membersihkan halaman rumah Baba Ahong.

Selain membantu di toko, Prastio juga membantu membereskan rumah Baba Ahong dan seisinya, lantai satu dijadikan toko dan lantai dua dijadikan tempat tinggal, karena Baba Ahong sudah tak tinggal bersama anak-anaknya lagi. Anak- anak Baba Ahong sudah berumah tangga dan tidak tinggal lagi bersamanya, jadi bisa dibilang Prastio, Aris dan karyawan Baba Ahong yang lainnya, dirasa seperti anak baginya.

 

Peluh keringat kian semakin banyak yang menetes dari tubuh kecilnya Prastio. Setelah selesai membereskan rumah Baba Ahong, Prastio langsung pergi ke agen besar untuk membeli barang-barang yang telah habis di toko bersama dengan Aris.

Sore tiba, cuaca pun mulai menghangat dan kini ia tak begitu merasakan panas yang menyengat lagi seperti tadi siang. Sesampainya di agen besar, Ia langsung membeli barang-barang yang ada di catatan dan segera merekap apa saja yang sudah dibeli—berapa jumlah dan pengeluarannya sesuai dengan nota bon. Lalu setelah semuanya sudah dicatat, Prastio segera mengangkat galon dan kardus berisikan barang yang telah dibeli tadi kedalam truk, dan mereka kembali ke toko.

“Sudah semua belum Pras?” “Sudah Mas”

“Yaudah yuk kita berangkat” “Nggih Mas”

Bersegeralah mereka kembali ke toko.

Mas Ari adalah karyawan lainnya di toko Baba Ahong. Awalnya Baba Ahong memiliki beberapa karyawan, ada sekitar 5 orang, namun satu persatu mulai meninggalkan pekerjaannya disini. Satu orang orang keluar dari toko ini karena memilih pekerjaan lain—dua lainnya pernah kepergok mencuri barang sebanyak 4 kali, dan sebelum 2 orang ini pergi dan berhenti bekerja di toko Baba Ahong. Mereka mengambil uang Baba Ahong di toko dengan nominal yang tak sedikit, terbilang jutaan rupiah dan membuat Baba Ahong merugi saat itu. Maka dari itu, hanya tinggal mereka lah berdua yang tinggal tetap bekerja di toko Baba Ahong dan menjadi karyawan kepercayaan.

Aris dan Prastio memiliki perbedaan umur yang jauh, Aris adalah anak yatim piatu yang merantau ke Jakarta sejak 6 tahun yang lalu, sempat putus sekolah namun takdir baik berpihak kepadanya.  Setelah bertemu dengan Baba Ahong, Aris di sekolahkan kembali oleh Baba Ahong dan tinggal di ruko bersamanya dan Cici Meilani, istri Baba Ahong.

Baginya, Prastio dan Aris sudah seperti anak sendiri, walaupun Baba dan Ci Mei berbeda keyakinan dengan Aris, namun ia tetap diperbolehkan ibadah disana dan Aris adalah seorang Muslim.

Di jalan mereka berbincang-bincang bernostalgia mengapa ia bisa berada sampai di titik ini, Aris yang masih bisa memiliki kesempatan bersekolah dan Prastio masih memiliki kesempatan untuk menafkahi Ibu dan adiknya serta masih bisa melanjutkan sekolah.

“Pras, kalau diingat-ingat waktu pertama kali mas sampai di Jakarta, sedih banget ya. Gatau mau kemana. Disuruh saudara ke Jakarta jauh-jauh dari Lampung ternyata saudara yang dicari enggak jelas alamatnya dimana, untung gusti Allah masih berbaik hati ya ada Baba Ahong yang nolong”

“Iyo mas, Alhamdulillah yo masih ada Allah mau nolong kita lewat Baba, kalo ndak ada waduh bingung aku Mas.” Jawab Prastio.

“Nah, iya. Apalagi kamu lihat coba dulu mas Karyo sama bang Ubet, pernah kepergok nyuri karena untuk berobat istrinya mas Karyo yang kena kanker. Gak ada biaya sampai akhirnya mencuri. Tapi sayang setelah itu gak lama istrinya meninggal. Mas Karyo ga balik kerja karena malu sama Baba dan Bang Ubet juga yang nolong Mas Karyo dipecat sama Baba. Yah namanya hidup, pasti perjuangan dan pengorbanannya ada aja, ya.”

“Pasti Mas, dan yang pasti juga berjuangnya dengan jalan yang baik.”

Tak lama pun mereka sampai di toko dan menurunkan barang. Prastio langsung sibuk menurunkan barang dan mengantar barang pesanan seperti galon dan barang- barang yang terbungkus di dalam kardus lainnya. Ia begitu nampak lelah hari ini. Ketika mengangkat galon, Prastio pingsan, dan ketika terbangun hanya ada mas Aris. Pipinya bengkak, karena ketika pingsan wajahnya tertimpa gallon. Pipinya pun dikompres oleh mas Aris. Ketika terbangun, Prastio pun langsung duduk dan menyegarkan mata sendiri agar kuat untuk kembali bekerja, agar Ia bisa pulang dan bisa belajar serta mengerjakan tugas yang diberikan tadi disekolah.

“Kamu kuat Pras? Udah biar mas aja yang ngerjain, kamu istirahat aja dulu.”

“Ndak papa Mas. Supaya kerjaan saya cepat selesai dan saya bisa belajar dirumah.”

“Ya Allah, kamu pasti cape ya, sekolah jalan kaki pulang pergi yaudah mas bantu ya, untung pipi kamu hanya bengkak sedikit Pras, galonnya enggak kena wajah kamu semua, lebih baik galonnya pecah ke lantai daripada kena wajahmu, untung galonnya cuma mampir.  Tapi tetap sakit kan”

“Nggih mas, nuhun. Yo emang gini toh kalau mau dapat uang, wong aku iki ndak papa, koyo gini aja toh nanti wis sembuh sendiri lukane.”

Langit kini semakin meredup dan gelapnya malam mulai menampakkan diri, Pras cepat-cepat menuntaskan pekerjaannya dan cepat kembali kerumah untuk belajar dan bertemu dengan Gio di jembatan biasa mereka bertemu.

Dalam perjalanan pulang, Prastio meneteskan air mata sambil menganyunkan kaki kecilnya yang tertatih, menahan perih dan lelah yang menjadi makanan sehari-harinya. Ia menutup semua luka yang menghampiri dirinya dengan senyum manis lugu layaknya anak-anak lainnya yang seusia dengannya. Untuk anak-anak seusianya, seharusnya adalah saat-saat menikmati masa bermainnya. Namun tidak untuk Prastio, ia harus menanggung beban dan berjuang untuk menghidupi dirinya, Ibu, serta adiknya, menjadi tulang punggung keluarga.

Sesampainya dirumah, Prastio melihat mata pelajaran yang telah diberikan tugas tadi serta mengulang lagi materi yang telah diberikan oleh guru disekolah. Di balik gubuk kecil, berdindingkan bambu itu dan berlampukan bohlam sederhana yang tak begitu terang serta tempat seadanya, Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Prastio memahami apa yang belum Ia pahami dari penjelasan yang telah diberikan guru tadi di sekolah.

Setelah selesai belajar, Ia langsung membereskan semua bukunya, lalu Sholat Isya dan bertemu dengan Gio di jembatan kali dekat rumah mereka yang menjadi markas favorit pertemuannya.

Prastio menyusuri jalan redup di malam itu yang hanya diterangi oleh lampu jalan saja menuju jembatan, dan ditemani riuh angin malam nan syahdu—namun cukup ramai saat itu karena malam minggu, jadi banyak anak-anak bermain disana. Tak lama akhirnya Ia sampai, dan ternyata Gio sudah menunggu dirinya sedari tadi. Bahkan bisa dibilang cukup lama. Ketika Pras dating, Gio pun terkejut melihat pipi Pras yang membengkak dan membiru,

“Hai kawan, kau orang kenapa?”

“Wis iki ra popo, kamu santai aja, hehe. Ini tadi cuma tertimpa sama galon aja, tadi aku pingsan pas lagi kerja di toko Baba Ahong.”

“Heyyy kau orang, aduh su beta katakan pada kau, jangan lelah lelah.”

Tak lama Gio pun meneteskan air mata dan memeluk sambil menepuk-nepuk pundak Pras.

“Kawan, beta tau perjuangan kau, kau akan menjadi contoh bintang kehidupan beta kawan, kau orang bukti perjuangan hidup itu keras. Kau cari uang untuk kau, kau cari uang untuk mamak kau, adik kau, ku doakan kau sehat selalu kawan.”

“Iyo, nuhun yo, eh ndak usah nangis koyo iku loh, hehe. Santai, setiap orang hidupnya pasti akan ada perjuangannya masing-masing, iya toh? Coba kamu lihat ke langit tuh, gelap kan yo, hitam? Tapi masih bersinar karena ada bintangnya. Nah, walaupun hidup kita melelahkan, gelap dan banyak sedihnya, kita masih harus berjuang. Setidaknya untuk napas dan diri kita sendiri. Gi…kita harus bisa sukses, kita harus jadi bintang itu, memberi terang pada kegelapan malam. Sekarang bagaimanapun caranya kita harus bisa, kita harus gapai, kita berjuang bareng- bareng yoh.”

“Terimakasih kawan, kau sudah nasehatin beta macam ini, ku doa’akan Tuhan selalu memberkatimu selalu kawan.”

“Iyo aamiin yoh, kamu juga toh. Tetap berusaha, berdo’a dan berjuang!”

Riuh angin membawa ketenangan dalam permbicaraan mereka berdua, siapa sangka pertemuan kedua laki-laki cilik kecil itu menjadi penyemangat berjuang dalam hidup satu sama lain, saling mendo’akan dan memberi nasehat untuk tetap meneruskan perjuangan dalam hidup yang pahit ini. Hari semakin larut dan malam semakin pekat serta angin yang nampaknya sudah mulai tak terdengar syahdu lagi, tak lama turun rintik hujan yang mengharuskan mereka kembali pulang kerumah masing-masing.

“Perjuangan dalam hidup sebenarnya adalah untuk napas kita sendiri, dan pejuang sejati itu adalah kita, maka lakukan yang terbaik didalam setiap perjuangan karena waktu untuk berjuang yang telah terbuang tak akan bisa kembali, jangan biarkan perjuangan ini terhapus sia-sia”

Salam Perjuangan.