SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Temukan Bahagiamu Sendiri

Oleh Handika Akmal Ramadani

(Dok: Freepik)

Setiap orang memiliki makna bahagia yang berbeda-beda, ada yang memakainya dari segi fisik, ada juga yang memaknainya dari segi rohani. Tidak salah memang ketika kita memaknai kebahagiaan dari segi fisik, contohnya seperti kebahagiaan karena hidup dengan bergelimang harta kekayaan ataupun popularitas. Namun, faktanya tidak sedikit orang yang memiliki itu semua justru tidak merasakan kebahagiaan malah kesengsaraan. Mengapa? Penyebabnya tentu karena ketidakmampuan mengelola itu semua untuk memenuhi kebutuhan rohani, kegagalan untuk mencari makna positif dari semuanya, tak heran jika banyak yang akhirnya depresi sampai bunuh diri.

Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa kebahagiaan terletak dalam keberhasilan kita mencari makna positif dari kehidupan. Ya, meski untuk mencari makna positif tidaklah mudah, walaupun kita yakin bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah, tapi memang untuk mendapatkan makna positif sulit karena kita harus melawan ego dan nafsu kita sendiri. Maka, cara sederhana yang dapat kita lakukan ialah dengan menggeser sudut pandang kita terhadap personal yang sedang kita alami, tentunya berbekal dengan kita husnudzan terhadap Allah SWT sesuai firman-Nya dalam hadits qudsi أَناَ عِندَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

“Sesungguhnya Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hambaKu…”

Contohnya ialah seperti ketika orang Jawa mendapat musibah pasti tetap saja mencari untung, misal ada keluarga yang mengalami kecelakaan sampai motornya rusak parah, masih ada saja anggota keluarga yang mengatakan “Untung cuman motornya, orangnya masih hidup” bahkan jika sampai orangnya yang meninggal pun ada yang bilang “Untung langsung meninggal, daripada hidup nanti kasihan.”

 

Maka, kebahagiaan adalah kemampuan kita untuk siap sedia menghadirkan makna positif atas apa pun yang terjadi pada kita. Lantas bagaimana cara melatihnya?

Pertama, kuatkan kesadaran dalam diri kita bahwa pada dasarnya kehidupan ini penuh dengan kebaikan, berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain yang akhirnya membuat kita sulit bersyukur. Kedua, bangun kemauan untuk terus maju. Sering kali kita gagal sebelum mencoba, kita meremehkan kemampuan diri kita, bahkan kita berputus-asa, padahal Allah berfirman dalam Q.S Yusuf ayat 87 bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

 وَلَا تَاۡيْـئَسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗ اِنَّهٗ لَا يَاۡيْـئَسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

 dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (QS. Yusuf 12: Ayat 87)

Ketiga, latih diri kita agar tidak mudah terbawa suasana, latihlah diri kita agar bisa mengelola hati dan pikiran kita agar tetap tenang dalam kondisi apa pun.

Bagaimana cara meraih kebahagiaan?

Pertama, Berusaha semaksimal mungkin mencapai cita-cita

Kita harus berusaha dengan maksimal untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, jangan sampai kita menyerah sebelum berusaha. Namun, cara ini memiliki risiko jika kita gagal dalam usaha meraih cita-cita, biasanya akan sangat sedih larut dalam kekecewaan.

Kedua, mengurangi atau menekan keinginan

Dengan kita mengurangi keinginan, secara otomatis peluang kita untun gagal semakin berkurang, maka berkurang juga peluang kita untuk merasakan kekecewaan. Tapi, hal ini tentu bertolak belakang dengan fitrah manusia yang selalu tidak puas, ada saja hal yang kita inginkan. Maka, cara ini bisa dikatakan kurang realistis atau hanya dilakukan oleh orang yang pesimis dalam hidupnya.

Ketiga, mengelola hati dan akal

Kitab tanamkan sifat syukur, sabar, dan senantiasa husnudzan atas apa pun yang Allah takdirkan untuk kita, atau dalam istilah Jawa disebut “Nerimo ing pandum”. Meskipun demikian, cara ini sama sekali tidak bertentangan atau menihilkan dua cara tadi, mari kita selalu berusaha dengan maksimal untuk menggapai harapan kita, tetapi ingat bahwa kemampuan kita hanyalah sebatas berusaha, perihal hasil tentu Allah yang menentukan, kita harus siap untuk sabar dan syukur atas apa pun yang kita terima. Kita yakin bahwa Allah yang memuliakan seseorang ataupun menghilangkan kemuliaan itu, sesuai firma-Nya

 قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ ۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

"Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 26)

Dan juga Allah tidak akan memberikan ujian kepada kita di luar kemampuan kita.

Kapan kita bahagia?

Kita akan berbahagia ketika kita mampu ridha atas apa pun takdir yang Allah tetapkan bagi kita. Tak perlu larut dalam kesedihan karena memikirkan masa lalu, tak perlu gelisah berlebihan karena memikirkan masa depan, fokuslah untuk mensyukuri yang saat ini kita hadapi, tarik nafas panjang kemudian hembuskan dengan perlahan sambil mengucapkan Alhamdulillah