Kisah Penulis Novel yang Diburu Umat Islam dan Kepalanya Dihargai 3 Juta Dollar
Pelarangan edar dalam dunia
penerbitan buku mungkin sudah sering terjadi. Akan tetapi, pernah tidak
kawan-kawan membaca sebuah novel yang bukan hanya dilarang pendistribusiannya,
melainkan mengakibatkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia, gejolak
geopolitik yang amat dahsyat hingga Imam Khomeini mengeluarkan fatwa dan
sayembara serta hadiah sebesar 3 juta dollar bagi siapa pun yang bisa memenggal
kepala penulisnya?
Salman Rushdie, penulis novel
paling kontroversial “The Satanic Verses” yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “Ayat-Ayat Setan” memaksa kita untuk membayangkan sebuah
novel dengan hanya bermodalkan pena, kertas, dan imajinasi mampu melebihi daya
ledak dan radius gelombang kejut bom termonuklir.
Ayat-Ayat Setan, novel paling
kontroversial pada akhir abad 20 mengakibatkan pelarangan edar di 17 negara.
Warga negara yang membacanya diancam hukuman pidana. Demonstrasi dengan jumlah
massa yang besar terjadi dan menelan korban jiwa. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses produksi dan distribusi mengalami teror sepanjang waktu. Salman
Rushdie pun terpaksa hidup dalam persembunyian selama belasan tahun.
Seperti apa kehidupan Salman
Rushdie sebelum dan setelah terbitnya Ayat-Ayat Setan? Kenapa Ayat-Ayat Setan
mendapatkan reaksi keras dan kemarahan besar dari umat Islam di seluruh dunia?
Saya mengajak kawan-kawan untuk
menjawab pertanyaan tersebut dengan membaca, mengingat, membayangkan, dan
merefleksikan kisah paling kontroversial dari dunia kesusastraan. Barangkali
dengan segelas kopi atau teh dapat menemani kita untuk menyelami kisah di bawah
ini nantinya.
Kehidupan Salman Rushdie, si
“musuh bersama” umat Islam
Salman Rushdie adalah diaspora
asal India yang tinggal di Inggris. Lahir pada 19 Juni 1974 di Bombay—saat ini
dikenal dengan Mumbai—, India. Tepat 8 minggu sebelum peristiwa Pemisahan India
dari Kerajaan Inggris. Rushdie kecil hidup sebagai seorang muslim Kashmir.
Ayahnya, Anis Ahmed Rushdie adalah seorang pengacara jebolan Universitas
Cambridge. Sedangkan, Negin Bhatt, ibunya adalah seorang guru.
Dengan privilege yang dimiliki
sejak kecil, Rushdie menjadi sosok pemuda dan manusia dengan pemikiran yang
bertolak belakang dengan teman-teman sebayanya. Menjadi diaspora sejak usia 13
tahun dan menyelesaikan studinya di Universitas Cambridge. Membiayai kuliahnya
dengan bekerja sebagai penulis lepas. Sempat pindah ke Pakistan sampai akhirnya
menetap secara permanen di Inggris.
Meniti karir sebagai copywriter
untuk sebuah agensi terbesar bernama Ogilvy. Lalu, pindah ke American Express
sebelum akhirnya menjadi penulis novel. Disela-sela pekerjaan itu, Rushdie
menyusun sebuah novel “Midnight’s Children” yang mengantarkannya untuk
memenangkan Booker Prize pertama kali pada tahun 1981.
Sepanjang hidupnya, Rushdie telah
memproduksi karya tulis sebanyak 29 dalam bentuk buku dengan beragam genre. Dia
mendapatkan 7 penghargaan atas sumbangsihnya dalam dunia kepenulisan.
Gaya kepenulisan dari Salman
Rushdie dikategorikan sebagai realisme magis—sebuah gaya kepenulisan yang
mencampurkan fakta dan fiksi, kenyataan dan mimpi, sejarah dan senda gurau—yang
dikolaborasikan dengan fiksi sejarah.
Dari beberapa karya yang telah
diproduksi, Ayat-Ayat Setan merupakan buku paling kontroversial yang pernah
diterbitkan. Buku ini pertama kali terbit pada 26 September 1988 oleh Viking
Press, salah satu imprint milik Penguin Group. Rushdie sendiri bukan tanpa
perhitungan ketika hendak menerbitkannya, tetapi ia tidak menduga bahwa
dampaknya sangat dahsyat.
Novel ini menimbulkan reaksi
keras dari umat Islam karena isinya dianggap sebagai penistaan terhadap
Al-Quran dan sosok yang sangat penting dalam agama Islam, yaitu Nabi Muhammad
SAW. Dengan gaya kepenulisannya yang terkenal satir dan gelap, ia secara
eksplisit menggambarkan para tokoh di dalam Ayat-Ayat Setan sebagai
representasi kontradiktif Malaikat, Nabi, dan ajaran Islam.
Kontroversi dan dampak dari
penerbitan Ayat-Ayat Setan
Pada prolog tulisan, bukan tanpa
alasan saya menyebut bahwa novel karangan Salman Rushdie yang hanya bermodalkan
pena, kertas, imajinasi, dan realisme magis dengan balutan satir mampu
memancing kemarahan negara berpenduduk mayoritas umat Islam. Tidak perlu
persenjataan militer yang canggih untuk membuat ketegangan situasi geopolitik.
Sebab, Salman Rushdie melalui Ayat-Ayat Setan juga tidak menduga bahwa atas
kontrovesial di dalam novel tersebut mengakibatkan korban jiwa.
Ayat-Ayat Setan, judul novel ini
dianggap merujuk kepada surah Al-Hajj ayat 52 dengan interpretasi bahwa adanya
potensi setan untuk membisikan Nabi dalam bentuk wahyu Allah SWT. Dengan kata
lain, apa yang dikatakan oleh Rasulullah bukan berasal dari-Nya, melainkan
bisikan setan. Jadi, Rushdie berasumsi bahwa Al-Quran adalah ayat-ayat buatan
setan.
Dengan balutan realisme magis dan
satir, 2 tokoh utama pada buku ini bernama Gibreel Farishta (dibaca Jibril) dan
Salahudin Chamcha (dibaca Saladin). Gibreel dalam novel ini berperan sebagai
aktor film. Gibreel dan Salahudin merupakan orang yang selamat dari peristiwa
jatuhnya pesawat. Setelah kejadian itu, Gibreel dan Salahudin Chamcha
berevolusi. Kepalanya muncul sebuah lingkaran cahaya seperti ilustrasi malaikat
di dalam film. Sedangkan, Salahudin Chamcha—nama yang identik dengan pahlawan
umat Islam ketika Perang Salib— kepalanya tumbuh tanduk yang identik dengan
Lucifer.
BAB kedua novel ini dinamai
Mahound. Tanpa kita sadari, nama ini terdengar seperti Muhammad. Secara tekstual
dan kotekstual, narasi di dalam novel ini menggambarkan kisah Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya, BAB ketiga diberi nama Ayesha. Sangat terdengar seperti
“Aisha” istri Rasulullah SAW. Ayesha dalam novel ini digambarkan sebagai sosok
pelacur.
Materi lain dianggap ofensif dan
menistakan bagi umat Islam adalah tokoh Abraham (dibaca Ibrahim) disebut
bajingan karena mengklaim bahwa Tuhanlah yang menyuruhnya meninggalkan istri
dan anaknya di padang pasir. Jahilia digambarkan sebagai Kota Makkah. Mahound
ketika sakaratul maut bukan dijemput oleh Azraeel (dibaca Izrail), melainkan
berhala Lata yang berwujud perempuan.
Novel Ayat-Ayat Setan lantas
segera menimbulkan kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Rushdie dianggap
menistakan agama Islam dengan berlindung di balik kesusastraan dan kebebasan
berbicara.
Viking Press, penerbit untuk
Ayat-Ayat Setan mengalami ancaman dan teror dengan ribuan surat serta telepon
yang berpesan agar Viking Press (Penguin Group) memberikan permintaan maaf
kepada umat Islam dan menarik kembali buku Ayat-Ayat Setan dari peredaran.
India dengan tegas melarang warga negaranya untuk membaca novel dan memberikan
sanksi pidana bagi siapa yang memilikinya.
Berbagai rentetan aksi kemarahan
umat Islam tidak berhenti, Bangladesh, Sudan, dan Afrika Selatan melarang
peredaran pada November 1988. Sri Lanka menyusul pada Desember 1988. Di waktu
yang sama, ribuan umat Islam di Bolton, Inggris menggelar aksi demonstrasi
pertama dalam menentang Ayat-Ayat Setan. Massa aksi membakar novel tersebut di
pusat kota.
Demonstrasi damai berlangsung
dari sampai Februari 1989, tercatat massa aksi memenuhi Teheran, London,
Bradford, New York, dan Islamabad. Demonstrasi yang awalnya berlangsung damai
menjadi chaos dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 18 orang meninggal dan
ratusan lainnya terluka.
Puncaknya pada Hari Raya
Valentine 1989, Pemimpin Agung Iran Imam Khomeini memberikan fatwa mati dan
sayembara serta hadiah sebesar 1 juta dollar bagi siapa pun yang bisa memenggal
kepala Salman Rushdie dan 3 juta dollar bagi warga negara Iran.
Iran dan Inggris mengalami
situasi geopolitik yang sangat tegang. Kedua negara tersebut memutuskan
hubungan diplomatik pada 7 Maret 1989. Media di Inggris bahkan dengan berani
menyebut Imam Khoemini sebagai “Mullah Gila”. Pemerintah Iran menilai buku
tersebut merupakan propaganda Inggris untuk melawan Islam. Di bulan yang sama,
Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang sekarang menjadi Organisasi Kerja Sama
Islam memerintahkan 46 negara anggotanya untuk melarang peredaran novel tersebut.
Percobaan pertama dari sayembara
itu terjadi pada Agustus 1989 di London. Seorang warga negara Lebanon berusia
21 tahun dengan nama samaran Mustafa Mahmoud Mazeh mencoba membunuh Salman
Rushdie dengan bom buku. Akan tetapi, bom tersebut meledak sebelum waktunya dan
mengakibatkan Mustafa meninggal hingga menghancurkan 2 lantai Hotel Beverley
House.
Sampai dengan tahun 2012, beragam
aksi dengan motif penolakan novel tersebut masih saja berlangsung. Pada tahun
2016, kelompok garis keras Iran termasuk media yang terafiliasi menambahkan
nominal hadiah dari fatwa mati Salman Rushdie sebesar 600 ribu dollar.
Masih ingat kasus majalah satir
dari Prancis, Charlie Hebdo yang menghina Nabi Muhammad SAW.? Salman Rushdie
merupakan salah satu orang yang mendukung tindakan yang dilakukan majalah
tersebut.
“Saya mendukung Charlie Hebdo.
Seperti yang kita semua harus lakukan, untuk membela seni satir, yang selalu
menjadi kekuatan untuk kebebasan dan melawan tirani, ketidakjujuran, dan
kebodohan,” tutur Rushdie dikutip dari Time.
Itulah sedikit kisah dari penulis
novel paling dicari umat Islam yang kepalanya dihargai 3 juta dollar. Semoga
kita semua masih diberikan kesadaran untuk berbicara dan berekspresi dengan
memerhatikan kepercayaan individu. Meskipun dalam bentuk sastra, selalu ada
batas-batas yang harus dijaga karena agama dan kepercayaan merupakan hal yang
sakral berada dalam renung hali penganutnya.
Referensi
1. Rushdie, Salman. The Satanic
Verses. London: Viking Penguin. 1988.
2. Rushdie, Salman. Joseph Anton:
A Memoir. Toronto: Knofp Canada. 2012.
3. Erdbrink, Thomas. [2016].
“Iran’s Hard-Line Press Adds to Bounty on Salman Rushdie”. The
New York Times. URL https://www.nytimes.com/2016/02/23/world/middleeast/irans-hard-linepress-adds-to-bounty-on-salman-rushdie.html?searchResultPosition=13
4. Freeman, Hadley. [2021].
“Salman Rushdie: ‘I am stupidly optimistic – it got me through
those bad years”. The Guardian.
URL https://www.theguardian.com/books/2021/may/15/salman-rushdie-i-am-stupidly-optimistic-itgot-me-through-those-bad-years
5. Feeney, Nolan. [2015]. “Salman
Rushdie Says ‘I Stand With Charlie Hebdo’ After Paris Attack”.
TIME. URL https://time.com/3657541/charlie-hebdo-paris-terror-attack-salman-rushdie/
6. Loyd, Anthony. [2005]. “Tomb
of the unknown assassin reveals mission to kill Rushdie”. The