SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Angin Panas Palestina : Ragam Wajah Negara Arab yang Porak-Poranda

 Oleh Farid Mafakhirul Ummam

Pict: Pinterest

Beberapa hari yang lalu, 7 mei 2024, aksi bela Palestina kembali menyeruak, digelar di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyyah-Aisyiyyah (PTMA), salah satu titiknya berada di salah satu kampus kami, Universitas Muhammadiyyah Jakarta, dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakatnya ; pihak rektorat, dekan fakultas, tenaga pendidikan, dosen-dosen, karyawan dan mahasiswa. Kegiatan ini tentu saja mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan Palestina ialah mutlak, tidak bisa ditakar dan ditawar, berikut kembali membuka mata terhadap dunia, aksi kolosal seperti ini tidak sekedar simbol solidaritas, akan tetapi panggilan moral kepada Masyarakat internasional untuk bersatu menentang penjajahan dan penindasan, dalam bentuk apapun. “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” kiranya begitu penggalan kalimat yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada saat yang bersamaan, ada hal yang cukup mengganggu dan menjadi bahan kontemplasi saya, salah satu pertanyaan yang terbesit di benak dan dilayangkan di berbagai media (Cetak, Sosial maupun Elektronik ) dari peristiwa berdarah Israel-Palestina yang keji dan brutal sampai hari ini adalah “mengapa pertolongan Negara Negara Islam dari penjuru dunia tidak jua datang ? mengapa tidak ada satu pun dari negara Arab yang ikut berkecimpung melibatkan diri dalam peperangan untuk membantu Palestina, yang tidak lain adalah tetangga dekat Palestina dan saudara kita semua selaku kaum muslimin ? mengapa ?"

Teriakan Semu

Pict: Taufan Yanuar

Harus digaris-bawahi, memang banyak yang merespon dari genosida yang sudah dilakukan Israel atas Gaza, bisa kita saksikan bersama, ada beberapa serangan langsung yang tertuju kepada Israel, seperti yang dilakukan oleh Hizbullah , Al-Houthi (Yaman) , Jihad Islam Irak, dan beberapa teriakan lain berupa kecaman yang tertuju kepada Israel, tetapi banyak publik yang menimbang dan menilai pertolongan semacam itu hanya “ala kadarnya“ dan sebatas retorika belaka. Bilamana kita melihat ke belakang, dukungan nyata Negara-Negara Arab kian hari kian memudar. Masyarakat di beberapa negara Arab memang kerap turun ke jalan melakukan aksi yang sama mendukung palestina, akan tetapi volume, skala dan jumlah pendemo masih kalah jauh dengan demonstran pro-Palestina di negara-negara barat. Apa hendak dikata, hematnya, negara negara Arab kebanyakan hanya bergeming saja. 

Masalahnya hingga hari ini adalah ada apa dan mengapa negara-negara Arab tetap kelu, tidak melibatkan diri dalam perang di pihak Palestina padahal tingkat kehancuran dan korban jiwa sudah demikian besarnya? apa tingkat kehancuran yang sebesar itu masih belum cukup mendorong solidaritas Arab untuk membantu sehingga melahirkan sedikit rasa empati pada Palestina? perlu berapa korban jiwa lagi? Pisau bermata dua, alih alih meningkatkan solidaritas dan dukungan lebih untuk membantu, justru yang mereka lakukan malah melukai dan mencederai hati rakyat Palestina.

Seperti Saudara Jauh atau Bukan Saudara

Sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera (perusahan media kawakan milik timur Tengah), Israel mengimani negara-negara Middle easterner itu sudah terpecah-belah, sehingga sulit menghasilkan keputusan tegas untuk bertindak membantu Palestina secara memadai. Salah satu bukti kuatnya adalah penolakan langsung penduduk Palestina yang terseok-seok pasca perang dan terusir dari wilayahnya akibat invasi territorial pasca perang. 

Arab Saudi, bukannya ikut berkabung, peduli atau ikut menyuarakan penindasan yang dilakukan Israel, tindakan mencengangkan dilakukan ketika awal-awal bulan oktober, awal invasi Israel ke jalur Gaza. Ditengah sorotan dunia tertuju pada konflik intensif di Gaza, Arab Saudi malah menghelat hiburan event konser musik internasional tahunan, tepatnya di kota Riyadh. Tentu hal ini jelas tindakan memalukan nir-empati yang melukai hati umat Islam.

Riyadh Season 2023
Pict: mustanir.net

Meski mengkritik kekejaman Israel terhadap warga sipil Palestina, negara -negara Arab tetap menolak menerima pengungsi dari Palestina. Mesir, satu- satunya negara Arab yang berbatasan langsung dengan Jalur Gaza, dan Yordania, yang berbatasan dengan Tepi Barat, telah memperingatkan bahwa warga Palestina tidak boleh diusir secara paksa dari tanah mereka. Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengatakan penting bagi rakyat Palestina untuk berdiri teguh.Jika mereka dibiarkan melarikan diri ke Mesir dan para militan melancarkan serangan dari Sinai, perjanjian perdamaian selama 40 tahun antara Mesir dan Israel bisa hancur.

Hal yang serupa di tampilkan Raja Abdullah dari Yordania dalam menyerukan pencegahan penyebaran krisis Israel-Palestina ke negara-negara tetangga dan memperburuk masalah pengungsi. Dengan kata lain, negara-negara Arab sebenarnya tidak mau menerima pengungsi dari Palestina.

Trauma dan Main Dua Kaki

Walaupun kita semua sepakat, sedikit-banyaknya sumbangsih yang negara-negara Arab berikan dalam menanggapi isu Palestina, salah satunya adalah terus menyuarakan wacana penindasan dan genosida dalam forum PBB. Tapi apalah arti kumpul, tanpa manfaat. PBB yang menkalim tampil sebagai wadah untuk perdamaian dunia itu malah terkesan mandul. Terutama ketika adanya hak veto yang ada di DK PBB (Dewan Keamanan PBB). Setiap pada tawaran resolusi untuk menawarkan titik tengah, bertujuan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari genosida, selalu saja ada Amerika selaku sekutu dekat dari Israel yang menghadang bola dengan hak veto. Sepertinya suara-suara penguasa negara Islam terkemuka belum kuat, atau sebenarnya mereka hanya menjadi penonton dalam forum?.

Situasi yang sedikit lebih baik ditunjukkan oleh Turkiye, sejak genosida berlangsung pada Oktober lalu, Turkiye mengumumkan hari berkabung nasional, penanda hari invasi Israel ke jalur Gaza. Turkiye juga kerap kali memberikan bantuan pertolongan kepada pengungsi dan penyintas perang. Banyak korban dan pengungsi yang mengalami kritis dan luka berat dilarikan langsung ke rumah sakit Turkiye. Tidak hanya itu, pemerintah dan instansi terkait juga melakukan kebijakan seruan boikot nasional terhadap apapun yang berhubungan dari perusahaan-perusahaan yang aliran dananya tertuju ke Israel. Tetapi, hal ini tentu saja tidak selaras berbanding pada sektor ekonomi dan perdagangan antara Turkiye dan Israel. Kedua negara tersebut tetap bermesraan dalam berdagang. Menurut data dari situs dogrulukpay.com, nilai ekpor dari turkiye selama bulan oktober 2023 sampai januari 2024 meningkat sampai senilai 1 milyar dolar AS. Rupanya ,negara sekuat Turkiye juga masih cari aman dan bermain dua kaki, sambil menyelam, minum air.

Pict: CNBC Indonesia

Mesir, tetangga terdekat Palestina, juga menunjukkan perilaku mengkhawatirkan serupa, khususnya di wilayah sekitar Jalur Gaza. Sebaliknya, mereka mengusulkan agar penduduk segera mengosongkan pemukiman tersebut dengan dalih kawasan tersebut akan segera dirusak oleh teroris. Wajar bila rezim Mesir masih menyimpan kebencian dan trauma mendalam terhadap kelompok Hamas. Sebab, kelompok tersebut diduga kuat memiliki hubungan dengan jaringan Ikhwanul Muslimin, kelompok pro-kemerdekaan yang diyakini bertanggung jawab atas kudeta dan pemberontakan Morsi pada tahun 2013. Kelompok ini kemudian dianggap sebagai organisasi teroris oleh rezim Mesir di bawah Abdul Fattah al-Assisi. Masalah luka yang berlarut-larut, Mesir belum bisa move on.

Lalu, dari rentetan persitiwa diatas, kapan pertolongan Allah SWT akan datang sedangkan kita sendiri masih belum bisa bersatu ? Wallahua’lam.

Eyes on Gaza, Eyes on Rafah, Free Palestine !