Kota, Keramaian, dan Keterasingan
Selasa, 18 November 2025
Oleh Vito Rachmawan
Pict By Pinterest
Esai Eksistensialis Bernapas Kiri
Kota selalu dibayangkan sebagai ruang hidup yang menjanjikan pusat kesempatan, pertemuan, kreativitas, dan dinamika sosial. Namun di balik hiruk-pikuknya, kota juga menyimpan paradoks yang terus menjerat manusia modern sebuah keterasingan yang justru tumbuh subur di tengah keramaian. Keterasingan bukan lagi pengalaman individual, tetapi fenomena sosial yang dilahirkan oleh struktur kota yang kapitalistik, ritme hidup yang mekanis, dan hubungan manusia yang terfragmentasi.
Kota adalah ruang di mana manusia berkumpul tanpa pernah benar-benar bertemu. Trotar penuh, jalan macet, ruang publik sesak, tetapi batin sering terasa kosong. Dalam kerumunan itu, kita justru kehilangan bentuk-bentuk relasi yang hangat, intim, dan bermakna. Keramaian kota menegaskan satu hal manusia bisa berada di tengah ribuan orang dan tetap merasa sendirian.
Kota sebagai Mesin: Manusia sebagai Unit Produksi
Eksistensialisme selalu menanyakan tentang “ada”-nya manusia siapa kita, bagaimana kita memahami keberadaan, dan apa makna kebebasan. Namun dalam konteks kota modern, pertanyaan itu sering terhenti di tembok industri dan kapital. Kota memaksa manusia untuk menjalankan hidup yang terjadwal, terukur, dan bergantung pada nilai guna. Kita bangun bukan karena mau, tetapi karena harus. Kita bekerja bukan karena mencintai hidup, tetapi karena takut tidak bisa bertahan.
Ketika manusia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjalankan aktivitas yang tidak ia tentukan sendiri, eksistensi kehilangan kebebasannya. Keterasingan muncul dari pemisahan manusia dengan dirinya, seperti yang Marx gambarkan manusia dipisahkan dari pekerjaannya, dari hasil kerjanya, dari manusia lain, bahkan dari esensi dirinya. Kota hanya mempercepat proses itu.
Di tengah gedung-gedung tinggi dan industri jasa yang tak pernah tidur, manusia menjadi sekadar komponen dari mesin raksasa bernama “produktivitas.” Kota yang seharusnya menjadi ruang tumbuh berubah menjadi ruang bertahan.
Keramaian yang Tidak Manusiawi
Kota membanggakan keramaiannya lampu-lampu terang, kafe yang padat, pusat perbelanjaan yang penuh, dan jaringan transportasi yang hidup siang-malam. Namun keramaian itu bersifat impersonal. Kita berdesakan tanpa saling mengenal, saling menatap tanpa saling membaca, dan saling hadir tanpa saling meresapi.
Kota mengajarkan keterampilan superficial tersenyum seadanya, berbicara seperlunya, dan melaju cepat tanpa menoleh. Relasi sosial menjadi fungsional, bukan emosional. Kita dekat secara geografis, tetapi jauh secara batin.
Ironisnya, kota menciptakan ilusi bahwa kita selalu terhubung. Media sosial, jaringan digital, dan komunikasi instan memberi kesan keintiman, padahal yang terjadi hanyalah interaksi yang dangkal dan instan. Kita dikelilingi notifikasi, tetapi miskin percakapan. Kita punya banyak “teman,” tetapi sedikit jiwa yang benar-benar memahami.
Dalam kacamata Marxis, keterasingan bukan sekadar perasaan, tetapi kondisi material. Kota kapitalistik mengatur hidup manusia dengan ritme produksi bangun → bekerja → pulang → ulang kembali.
Ruang kota dibangun untuk mempercepat aliran kapital, bukan memperlambat manusia agar bisa saling mengenal. Jalan diperlebar bukan untuk pejalan kaki, tetapi untuk arus komoditas; taman dipugar bukan untuk warganya, tetapi untuk meningkatkan nilai properti.
Manusia menjadi unit produksi. Identitas dibentuk oleh jabatan, bukan oleh kemanusiaannya. Rutinitas menggerus pilihan. Dan perlahan, manusia kehilangan dirinya sendiri.
Tak heran jika Karl Marx menyebut kota modern sebagai pabrik raksasa yang melahirkan empat keterasingan:
- terasing dari pekerjaan,
- dari hasil kerjanya,
- dari sesama manusia,
- dan dari dirinya sendiri
Kota hanya mempercepat luka itu. Di sini, Manusia bukan lagi subjek ia hanya roda kecil dalam mesin besar bernama kapitalisme urban.
Identitas yang Menguap di Tengah beton
Kota memaksa manusia untuk terus bergerak pagi bekerja, sore pulang, malam scroll layar. Ritme yang tidak pernah berhenti ini membuat manusia kehilangan waktu untuk bertanya siapa aku? apa yang sedang kujalani? apa yang sedang kukejar?
Eksistensialisme mengajarkan pentingnya momen refleksi, tetapi kota menghapus ruang itu. Keheningan, yang seharusnya menjadi tempat manusia mendengar dirinya, justru dianggap gangguan. Di tengah suara kendaraan, gedung yang menjulang, dan tuntutan pekerjaan, manusia cenderung larut ke dalam rutinitas yang membius.
Identitas manusia menguap pelan-pelan. Kita tidak lagi menjadi diri sendiri, tetapi menjadi apa yang kota minta produktif, cepat, efisien, tanpa pertanyaan.
Dalam bahasa Sartre, kota membuat manusia “ada di hadapan orang lain,” selalu dipandang, dibandingkan, dan dinilai. Eksistensi menjadi kompetisi, bukan pencarian otentisitas. Identitas manusia bukan lahir dari dirinya, tetapi dari bagaimana kota menilainya melalui uang, status, efisiensi, dan performa.
Kota mendorong kecemasan eskstensial. Bukan karena manusia tak memiliki tempat, tetapi karena ia justru terhimpit di tempat yang terlalu ramai.
Inilah ironi kota, keramaian yang mestinya mendekatkan, justru menjauhkan.
Melawan Keterasingan: Membangun Ruang Manusia
Namun eksistensialisme tidak berhenti pada pengakuan absurditas. Ia menuntut keberanian untuk menegaskan kembali eksistensi kita. Di tengah kota, Melawan keterasingan bukan berarti melarikan diri, tetapi menciptakan ruang-ruang kemanusiaan:
- Ruang berbagi cerita yang jujur, bukan basa-basi;
- Ruang berkumpul yang tidak didikte komersial;
- Ruang belajar yang kritis dan membebaskan;
- Ruang perlawanan yang menghidupkan solidaritas;
- Ruang sunyi yang memungkinkan manusia kembali mendengarkan dirinya sendiri.
Kota tidak harus menjadi mesin yang memakan manusia. Kota bisa menjadi ruang yang humanistic jika manusia berani mengambil kembali kendali atas hidupnya dan memulihkan relasi antar manusia.
Penutup: Eksistensi di Tengah Kota
Pada akhirnya, kota, keramaian, dan keterasingan adalah tiga wajah dari realitas modern. Kota menawarkan peluang, keramaian menawarkan dinamika, tetapi keduanya juga memproduksi keterasingan struktural. Dalam pandangan kiri-eksistensialis, keterasingan bukan semata persoalan batin, tetapi persoalan sistem sosial yang memisahkan manusia dari manusia lain dan dari dirinya sendiri.
Eksistensi yang otentik hanya mungkin muncul ketika manusia berani mempertanyakan, melawan, dan merebut kembali ruang-ruang makna dari dominasi struktur kota. Kita mungkin hidup di tengah riuh, tetapi kita tidak boleh kehilangan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan menemukan diri kita sendiri.
Eksistensialisme menegaskan bahwa makna tidak berasal dari kota, pekerjaan, atau kerumunan. Makna diciptakan secara aktif oleh manusia melalui pilihan bebas dan tanggung jawabnya.
Kota boleh bising, tetapi manusia tetap punya hak untuk mendengar suaranya
