SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Memaknai “33x” Perunggu: Sebuah Renungan Tentang Luka, Kesadaran, dan Upaya Menjadi Manusia

Oleh Vito Rachmawan


 Pict By Pinterest

“33x” adalah salah satu lagu Perunggu yang paling kaya secara emosional sekaligus paling subtil secara filosofis. Lagu ini tidak meledak dalam kemarahan, tidak tenggelam dalam melodrama, dan tidak pernah secara eksplisit menyebut tragedi apa yang sedang dialami. Justru dari kesunyian inilah “33x” memperoleh kekuatannya. Ia menjadi ruang renung yang intim, tempat seseorang bergulat dengan dirinya sendiri, dengan memorinya, dan dengan sudut-sudut pengalaman yang sulit diterima. Lagu ini tidak menawarkan narasi linier, ia menawarkan pengalaman emosional dan pengalaman itulah yang membuatnya layak dibedah secara lebih komprehensif.

“33x” dapat dibaca sebagai perjalanan seseorang yang hidup jauh dari frame agama, jauh dari aturan, jauh dari dogma, dan jauh dari rutinitas ibadah. Ia hidup dalam dunia yang sangat manusiawi, dunia yang penuh kekacauan kecil, keputusan yang salah, luka yang tidak pernah selesai, hubungan yang retak, serta pertanyaan-pertanyaan tentang diri yang tak kunjung terjawab. Di dalam lagu ini bukanlah figur yang mencari keselamatan pada teks suci atau berlari menuju institusi kepercayaan mana pun. Ia berjalan sendirian, menanggung ketidakpastian hidup dengan langkah yang sedikit goyah, tetapi tetap melangkah. Namun di balik kehidupan yang tampak sekuler itu, ada sesuatu yang pelan-pelan menyeretnya kembali kepada inti spiritualitas manusia paling purba kebutuhan untuk mengingat.

Di sinilah “33x” terasa seperti sebuah dzikir, meskipun tidak pernah menyebut Tuhan atau agama mana pun. Dzikir dalam makna terdalamnya adalah pengulangan untuk menjaga kesadaran, sebuah ritual batin yang membuat seseorang kembali pada pusat dirinya. Dalam lagu ini, angka “33” menjadi simbol pengulangan itu, pengulangan yang lahir bukan dari tuntunan agama, melainkan dari kebutuhan jiwa untuk menemukan ketenangan lewat ritme. Seseorang yang tidak beragama pun bisa mengalami hal yang sama, mengulang sebuah kalimat tertentu untuk menenangkan hati, mengulang satu pemikiran agar tidak hilang kendali, atau mengulang satu pengakuan agar hati menjadi siap menerima kenyataan. Pengulangan itu adalah dzikir, bukan sekadar ritual, tetapi itu merupakan bentuk kontemplasi yang memulihkan.

Spiritualitas dalam “33x” hadir bukan dalam bentuk praktik religius, tetapi sebagai proses kontemplatif yang sangat manusiawi. Lagu ini seperti doa yang diarahkan bukan pada kekuatan di luar diri, melainkan pada ruang paling dalam dalam hati seseorang. Ia merupakan usaha untuk menerima sisi-sisi diri yang tidak ideal: bagian yang menyesal, bagian yang takut, bagian yang keras kepala, bagian yang rapuh. Inilah bentuk spiritualitas yang paling dekat dengan pengalaman sehari-hari, pergulatan sunyi antara seseorang dan kesadarannya sendiri. Lagu ini mengajarkan bahwa refleksi adalah bagian penting dari pertumbuhan, meski refleksi itu terkadang menyakitkan, dan meski pengampunan tidak selalu datang dari luar.

Dalam lagu ini seperti seseorang yang baru menyadari bahwa sebenarnya manusia selalu membutuhkan titik kembali. Ketika dunia tak memberi pegangan, dan ajaran formal terasa jauh, manusia kemudian menciptakan dzikirnya sendiri, berupa ingatan terhadap hal-hal yang pernah ia rusak, kesalahan yang ia sesali, atau seseorang yang pernah ia sakiti. Ia mengulang semuanya dalam kepalanya berkali-kali, sampai terasa seperti mantra yang tidak suci tetapi sangat jujur. Inilah jenis dzikir yang tumbuh dari kemanusiaan, bukan dari doktrin. Dzikir yang muncul ketika seseorang tidak punya tempat lain untuk berpulang selain dirinya sendiri.

Pengulangan dalam “33x” juga menunjukkan bagaimana manusia sering kali belajar bukan dari sekali momen pencerahan, melainkan dari proses mengingat yang terus terjadi. Ia mengingat bukan untuk tenggelam dalam penyesalan, tetapi untuk perlahan memahami pola luka yang sebelumnya tak ia sadari. Dalam hidup yang tidak diikat agama, kesadaran semacam ini lahir sendiri, tumbuh sendiri, dan bekerja seperti dzikir: ia membuat seseorang kembali pada inti persoalan, kembali pada dirinya, kembali pada yang paling jujur. Pengalaman mengulang itu adalah cara jiwa menyembuhkan dirinya.

Secara emosional, “33x” menghadirkan seseorang yang sedang melakukan dzikir batin terhadap kesalahan dan kehilangan yang pernah ia alami. Ia mengingat bukan karena aturan, tetapi karena naluri manusiawi bahwa mengingat adalah satu-satunya cara untuk berdamai. Dzikir ini bukan doa, bukan sekadar ritual, melainkan refleksi yang perlahan membentuk kedewasaan. Setiap kali ia mengulang ingatan itu, sesuatu di dalam dirinya bergerak sedikit mungkin tidak menuju kesembuhan total, tetapi menuju pemahaman yang lebih lembut terhadap dirinya sendiri.

“33x” adalah lagu tentang proses menjadi manusia secara utuh. Lagu ini menunjukkan bagaimana seseorang bisa bergulat dengan bagian terdalam dirinya, rasa bersalah, keinginan untuk memperbaiki sesuatu yang tak bisa diperbaiki, dan kebutuhan untuk mengulang pengakuan sampai ia menemukan sedikit ketenangan. Lagu ini bukan cerita tentang penyembuhan instan, tetapi tentang proses panjang yang tidak selalu terlihat dari luar. Ia adalah gambaran tentang bagaimana seseorang belajar memahami dirinya sendiri, satu pengulangan demi pengulangan, hingga akhirnya mengizinkan dirinya bernapas.

Pada akhirnya, meskipun hidupnya jauh dari institusi agama, perjalanan batinnya tetap bermuara pada sesuatu yang secara esensial mirip dengan dzikir, sebuah upaya untuk kembali ke dalam, untuk menata kembali ingatan yang berserakan, untuk menghadapi diri sendiri tanpa topeng. “33x” menjadi kisah bagaimana seseorang yang hidup tanpa ritual religius pun bisa menemukan ritus spiritualnya sendiri, dalam bentuk pengulangan, penyesalan, penerimaan, dan kesadaran yang tumbuh dari dalam hati. Lagu ini menunjukkan bahwa dzikir bukan hanya milik agama, tetapi milik siapa saja yang mencoba menyembuhkan dirinya dengan cara mengingat, dan mengingat lagi, hingga hati mulai mengendur.

Jika dzikir adalah upaya untuk menghadirkan kesadaran yang hilang, maka “33x” adalah gambaran paling manusiawi tentang bagaimana proses itu terjadi pada seseorang yang berjalan tanpa kitab suci, tetapi tetap mencari ketenangan yang sama, ketenangan yang lahir dari keberanian menatap diri sendiri, berkali-kali, sampai akhirnya ia bisa berdamai.