Melihat Mahasiswa dan Freshgraduate Dari Teori Aktualisasi Diri Mashlow
Kampus tempat bersemayam para mahasiswa merupakan lingkungan akademik yg sudah didesain sedemikian rupa. Seperti sekolah, di setiap tahun ajaran baru kampus juga kedatangan mahasiswa baru.
Mahasiswa baru, lalu mengikuti pengenalan kampus dan melakukan penyesuaian baru dengan lingkungannya. Kampus memiliki perbedaan dengan sekolah, ia menyediakan banyak ruang ekspresi untuk mahasiswanya. Mari kita lihat ruang-ruang ekspresi itu, yang diantaranya adalah tersedianya banyak unit kegiatan mahasiswa. Dari mulai riset akademik,sosial politik, olahrag sampai seni budaya semua ada. Melalui ruang tersebut mahasiswa dapat mengembangkan dirinya sesuai hal yang diminati.
Mahasiswa dapat dikatakan sebagai golongan yang sudah merdeka dalam hal pemenuhan kebutuhan pokoknya, seperti makan dan sandang. Walaupun tak makan mewah dan enak tapi setidaknya mahasiswa masih bisa memenuhi perut keroncongannya dengan nasi rames atau nasi kucing. Maka tak heran jika hidup mereka bisa dikatakan merdeka. Dengan uang kiriman Ayah Ibu, secara badani mereka mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, pun kebutuhan psikologinya juga baik, karna tak ada intervensi pihak lain dari luar dirinya.Mungkin tidak semua mahasiswa seperti ini, tapi mayoritas mahasiswa agaknya berasal dari latar belakang ini.
Melihat kehidupan mahasiswa seperti itu, maka menjadi benar kiranya apa yang dikatakan Mashlow bahwa proses aktualisasi diri dapat dipenuhi setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, yang mana dalam hierarki bebutuhan Mashlow meletakan kebutuhan pangan dibawah kebutuhan aktualisasi diri. Maka tak heran jika mahasiswa mampu mengaktualisasikan diri dalam berbagai bentuk sebagai wahana ekspresinya diruang publik.
Dengan didorong banyaknya kegiatan, mahasiswa dapat terus mengasah potensinya, disini peran kampus menjadi penting untuk tetap menjaga kebebasan ekspresi itu karena hal itulah yg akan mengembangkan potensi potensi mahasiswanya. Intervensi kampus hanya akan membuat kreatifitas mahasiswa mengerdil. Kita sering mendengar kasus pembungkaman gerakan mahasiswa didalam kampus yang memperlihatkan bahwa kampus masih enggan dikritik. Kampus menjadi ambigu manakala mahasiswa dituntut kreatif sedang aktifitas kemahasiswaan selalu diawasi.
Dunia perpolitikan kampus memperlihatkan bahwa mahasiswa harus terus berkembang, sedang setelah berkembang justru diberi batasan. Saat ini di era digital 4.0 mahasiswa selalu diarahkan untuk menjadi mandiri, menjadi wirausaha. Tapi herannya giliran mahasiswa hendak berjualan jajanan eceran di lobby kampus malah diusir oleh pihak kampus, dengan dalih mengganggu kerapihan dan keindahan area kampus. Melihat hal itu semakin jelas bahwa rasanya kampus menjadi semakin kontraproduktif. Seharusnya dalam kasus sesederhana itu kampus dapat berpikir jernih misalnya dengan menyediakan wadah untuk pengembangan usaha para mahasiswa.
Itu hanya sebagian kecil permasalahan yang kita temui. Masih banyak perkaralainnya. Sekarang mahasiswa yang diarahkan untuk menjadi wirausaha itu apakah dapat benar benar menjadi wirausaha nantinya.
Setelah lulus biasanya kebanyakan mahasiswa akan mengarahkan dirinya untuk mencari pekerjaan. Hal itu dilatarbelakangi karena adanya tuntutan kemandirian finansial. Setelah lulus mahasiswa freshgraduate ini tentu saja enggan meminta uang kiriman dari ayah ibu, selain malu dan gengsi juga karena memang tidak ada duit yang bisa diminta.
Melihat kondisi itu kini freshgraduate yg tadinya mantan aktivis kampus itu dalam hierarki kebutuhan Mashlow menjadi kembali di titik awal. Kini ia tak bisa mengaktualisasikan diri dulu sebelum dapat secara mandiri memenuhi kebutuhannya.
Maka tak heran jika kita melihat banyak mantan aktivis kampus harus bekerja di perusahaan perusahaan yang dulu ditentangnya karena mengabaikan dana CSR dan lingkungan hidup.
Tak ada yg salah dengan pilihan freshgraduate itu, ia tak bisa dikatakan kehilangan idealismenya karena berada di ketiak perusahaan pemuja pasar. Murni hal itu hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Setelah mendapatkan kebutuhan dasar itu bisa jadi ia akan kembali mengaktualisasikan dirinya. Mungkin dalam bentuk yang berbeda dari bentuk sebelumnya.
Idealisme bukannya harus menentang arus utama, tapi juga mampu membelokkan arus utama. Freshgraduate itu akan mengalami kulminasinya ketika ia masuk dunia kerja, dunia yang sesungguhnya dan bukan lingkungan buatan seperti kampus. Di lingkungan kerja semua hal menjadi lepas tak ada desain dari rektor atau pimpinan karena semua bergerak murni untuk kebutuhannya masing-masing.
Dalam kondisi tersebut, freshgraduate mantan aktivis kampus itu dapat kembali bergumul dengan pikiran dan batinnya. Bahwa sikap idealisme penentang pasarnya tidak pernah salah, hanya tempatnya yang kini berbeda. Jika ingin maju dan merdeka ia harus mampu mengendalikan arus utama. Ia kini menyadari menentang arus utama adalah hal utopis yang tak mungkin dilakukan dengan kekuatan yang dimilikinya.
Olah rasa, olah hati dan nurani yang kini mampu membawanya akan kemana, apakah akan terus merada dalam ketiak pemuja pasar atau merdeka dibawah ketiak itu dengan merasukan pikirannya kedalam otak pasar hingga mampu memberi pengaruh positif juga mengambil bagian akan kemana pasar itu. Pilihan ada ditangan freshgraduate itu, hidup sejatinya adalah berjuang. Menjadi merdeka adalah bentuk masyarakat yg baik secara pikiran dan tindakan, begitu kata Mashlow.
Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan di medium.com pada 28 Januari 2020
Penulis : Alif Fadhilah (Mahasiswa KPI Universitas Muhammadiyah Jakarta)