Refleksi Sumpah Pemuda: Persatuan Untuk Siapa?
Doc by Pinterest
Sumpah Pemuda sering dirayakan sebagai simbol persatuan bangsa, seolah-olah nasionalisme saja cukup untuk membawa kemerdekaan dan kesejahteraan. Nasionalisme yang tidak disertai kesadaran kelas hanya akan menjadi selubung yang menutupi struktur penindasan baru, ia harus lahir dari semangat anti-kolonial, anti-feodalisme, dan cita-cita untuk membangun Indonesia yang merdeka dari segala bentuk ketidakadilan. persatuan tanpa perjuangan kelas hanyalah mitos yang menguntungkan elite.
Semangat Sumpah Pemuda seharusnya menjadi energi perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi baik oleh modal, kekuasaan, maupun ideologi yang membungkam suara rakyat. Pemuda Indonesia harus berani mengambil peran sebagai pelanjut perjuangan rakyat, menyuarakan keadilan, memperjuangkan kesejahteraan bersama, dan melawan apatisme politik.
Para pemuda 1928 berani menentang penjajahan imperialisme Barat. Namun, dalam perjalanan sejarah, semangat anti-kolonial itu perlahan digantikan oleh kolonialisme gaya baru penjajahan oleh modal, korporasi, dan kekuasaan politik yang melayani kepentingan segelintir kelas penguasa. Indonesia memang merdeka secara politik, tetapi banyak rakyatnya masih terjajah secara ekonomi dan sosial.
Hari ini, pemuda dihadapkan pada situasi yang tidak jauh berbeda, ketimpangan yang ekstrem, pengangguran, eksploitasi buruh, perampasan tanah, serta komersialisasi pendidikan. Di bawah logika kapitalisme neo-liberal, manusia dipaksa bersaing, bukan bersolidaritas. Sumpah Pemuda, jika hanya dimaknai sebagai seremonial nasionalisme, tidak lagi relevan kecuali jika ia dihidupkan kembali sebagai manifesto perlawanan kelas tertindas terhadap sistem yang menindas.
Persatuan yang sejati bukanlah persatuan yang menyatukan penindas dan yang tertindas di bawah satu bendera, melainkan persatuan yang lahir dari kesadaran bahwa rakyat pekerja, petani, dan kaum miskin harus bersatu melawan eksploitasi yang sama. Inilah makna baru dari “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” bukan dalam arti simbolik, tetapi sebagai tekad bersama untuk membangun Indonesia yang berpihak pada rakyat, bukan pada modal.
Pemuda Indonesia tidak boleh terjebak dalam nasionalisme kosong atau romantisme sejarah. Refleksi sejati atas Sumpah Pemuda adalah membawanya ke medan praksis, turun ke akar rumput, mendampingi perjuangan rakyat, melawan privatisasi sumber daya, dan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap struktur ketidakadilan.
Sumpah Pemuda harus dibaca ulang sebagai seruan pembebasan, bukan hanya dari penjajahan bangsa lain, tetapi dari setiap sistem yang menindas manusia oleh manusia. Hanya dengan kesadaran kelas dan keberanian kolektif, semangat 1928 bisa hidup kembali sebagai api revolusioner yang menyalakan perjuangan menuju masyarakat yang setara, bebas, dan berkeadilan sosial.
Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, ia adalah panggilan untuk terus bertanya. persatuan untuk siapa? kemerdekaan untuk siapa? dan Indonesia macam apa yang ingin kita wujudkan? Hanya dengan menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan berpihak kepada rakyat, semangat 1928 akan benar-benar hidup kembali bukan di upacara, tapi di jalan-jalan perjuangan sosial yang nyata.
