SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Demonstrasi Itu Harus Disruptif

Penulis : Ryas Ramzi (Mahasiswa KPI UMJ)

(Dok/Ahmad Faqih Chudori)


Disruptif, ya. Bukan Destruktif.

Pernah nggak sih, kita mikir; demo kok nggak ada hasilnya ya? Belum audiensi kok udah disemprot gas air mata? Kenapa plot twistnya selalu mudah ditebak? Solusinya bagaimana? Sekarang, ambil cangkir kopi dan note dari tote bag mu. Silakan simak baik-baik. Biar saya sederhanakan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Sudah siap?

Kita sudah pasti memiliki persepsi yang berbeda mengenai sifat demontrasi, ada yang beranggapan bahwa suatu demonstrasi itu harus tertib, atau sebaliknya, demonstrasi itu harus menimbulkan chaos. Di balik dikotomi itu, demonstrasi adalah bentuk perlawanan.

Kawan-kawan sekalian, perlu kita ketahui, esensi dari demonstrasi itu adalah disruptif. Maka, adalah hal yang wajar jika lalu lintas, mobilitas dan jadwal transportasi terhambat karena demonstrasi. Kenapa? Ya, karena demonstrasi adalah jalan terakhir setelah jalan lainnya—trias politica—ditutup aksesnya. 

“Oh, jadi merusak fasilitas umum itu hal yang wajar?”

“Wah, berarti kamu mendukung vandalisme?”, 

“Kenapa harus bakar fasilitas umum sih? Kan rakyat kecil juga yang menggunakan”. Eh, sini saya bisikan. Disruptif itu bukan destruktif. Jelas, perusakan yang dilakukan oleh demonstran—meminjam istilah media mainstream atau aparatur negara “Oknum”—itu adalah perbuatan imoral.

Lagian, sejak kapan kita jadi peduli moral? hanya marah pada saat fasilitas umum dirusak dengan dalih mengganggu kenyamanan, namun bungkam saat korporasi besar merusak alam dan oligarki menghasilkan kebijakan eksploitatif. Atau mungkin kita cuma peduli dengan apa yang di dekat kita saja? itu sampah di sekitar buang dahulu, setelah itu bicara moral.

Evaluasi Aksi Massa Demonstrasi 08/10;

Menurut data yang dilansir oleh Tempo.co dan ICW, mereka mengatakan Polisi belanja Rp 408 M untuk persiapan demo Omnibus Law. Nah, dengan modal hampir separuh 1 M itu, kita sudah kalah telak. Kemudian, apalagi?

Cuma Ajang Mencari Konten

Pada aksi massa yang berlangsung di Makassar, metode yang digunakan adalah dengan mengoptimalkan TikTok. Apakah efektif? Jelas tidak. Saya masih geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa sebuah konten joget-joget yang di unggah ke platform tersebut memiliki implikasi perubahan dan kaitannya dengan tuntutan aksi. Mbok, tidak semua produk teknologi relevan dengan kultur. Eksis terus, tuntutan mah belakangan.

Ikut-Ikutan

Satu orang yang berjiwa Anarko di lapangan lebih berguna ketimbang sepuluh orang yang ikut-ikutan. Dengan seorang Anarko, satu barikade Polisi bisa dilibas. Lah, sepuluh orang kita baru terkena gas air mata sudah seperti epilepsi. Bagaimana bisa kita audiensi kalau menorobos rintangan kecil saja sudah gagal. Mbok, sudah paling benar kita mencari cash back Shopee. Hahaha

Romantisasi Perjuangan

Poin ketiga ini kita terima saja. Peserta aksi kita terlalu larut di dalam euforia demonstrasi. Menjadikan sebuah pengalaman aksi sebagai sebuah pembelajaran itu bagus. Akan tetapi, meromantisasi aksi itu yang harus kita buang dari konstruksi pemikiran. Memangnya, dengan turun ke jalan langsung membuat kita menjadi pahlawan bagi bangsa ini? Demo baru sampai barikade pertahanan polisi saja sudah messiah complex.

Tidak Satu Komando

Coba sekarang kita lihat, berapa banyak perguruan tinggi, kelompok, atau serikat yang turun ke jalan? Apakah mereka mempunyai komando yang terstruktur? Jelas tidak. Akui saja, kita hanya peduli pada atribut yang kita pakai. Jadi, tidak usah menyuarakan pendapat bahwa kita ini representatif bangsa dan Negara kalau egosentrisme melekat dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Ajang Mencari Panggung

Retorika basi dari para orator dengan suara dan semangat menggebu-gebu ya paling mentok, mosi tidak percaya, atas nama rakyat, merdeka, DPR tolol, dan bla-bla-bla. Setelah kawannya ditangkap, aksi berlarut. Apakah masih peduli dengan kawannya yang ditangkap? Oh, jelas tidak. Paling penting adalah agensi melirik, endorse masuk, dan partai praktis genit. Polanya selalu tidak berubah.

Pengorbanan

Kita sepakat bahwa demonstrasi turun ke jalan adalah jalan terakhir. Nah, kalau sudah sepakat, ya, terima konsekuensinya; ditangkap, dipukulin, dan sebagainya. Kalau sekadar dompet atau Tupperware hilang dan kita tidak bisa tidur, ya, lucu. Membangun aksi sebagai bentuk perlawanan maka harus siap dengan pengorbanan. Akan ada yang jatuh, akan ada yang rusak, dan akan ada yang menjadi korban.

Strategi Aksi Disruptif

Kembali ke permasalahan sifat demonstrasi, kita semua tahu, sejak aksi massa berlangsung pada September 2019 hingga kini tuntutan belum juga terpenuhi. Di dalam mau pun di luar, litigasi mau pun non-litigasi, kita selalu kalah. Oleh karena itu, sudah seharusnya metode dan sifat demontrasi kita upgrade ke next level of demonstrans; Distruptif. Tidak perlu bakar-bakar ban atau fasilitas umum kalau hanya untuk meromantisasi perjuangan. Apalagi berharap pada ex-aktivis ’98. Toh, mereka sudah sibuk mencari nafkah. Propaganda sudah tidak bisa membiayai kehidupan mereka.

Nah, strategi dari demonstrasi yang bersifat disruptif bisa kita gunakan.

1. Blokade Tempat Strategis

Tidak usah memusatkan titik aksi di satu tempat, seperti gedung DPR dan Istana. Strategi seperti itu yang menjadikan kita sasaran empuk aparat. Memangnya hanya kita—peserta aksi—yang mempunyai plan? Aparat Negara juga punya, Bos. Tutup akses masuk dalam kota, baik darat mau pun air. Misalnya, massa aksi yang berada di wilayah kota satelit memblokade jalan yang ada mengarah ke Ibu Kota. Ingat, ini bukan anarki selagi kita tidak melakukan perusakan fasilitas. 

Dalam hal ini, stasiun kereta api dan jalan kota adalah lokasi paling strategis untuk diblokade. Dengan memblokade kedua akses ini, mobilitas transportasi yang mengarah ke Ibu Kota akan terhenti. Pernah dengar dengan kisah Joshua Wong ketika membuat strategi demontrasi di Hong Kong? Ya, Joshua mengarahkan demonstran untuk memenuhi bandara internasional Hong Kong untuk menarik perhatian internasional. Aksinya menyebabkan gangguan penerbangan dari dan menuju ke Hong Kong hingga pada akhirnya, Carrie Lim mencabut RUU Ekstradisi yang menjadi tuntutan Jhosua dan demonstran lainnya di Hong Kong.

2. Pasang Sound System Berhari-hari

Ya, saya tidak bercanda. Pasang sound system di depan kediaman atau kantornya selama berhari-hari. Kalau tujuannya agar tuntutan kita didengar, ya, seperti ini. Dengan cara ini, siapa yang tidak merespons paling sederhana menggerutu “Berisik!” kalau tempat bernaungnya digemakan suara orator yang menggelegar. Mereka itu sudah bathil dan dengan sengaja menghindar dari suara masyarakat.

3. Bahasa Isyarat

Di lapangan, semua subjek memandang kita sebagai objek. Kalau bukan dari bagian massa aksi, bisa jadi intel atau provokator. Nah, agar komunikasi di lapangan tidak terbaca oleh aparat atau polisi. Bahasa isyarat digunakan untuk demonstran di garda depan. Misalnya, untuk meminta agar peralatan yang dibutuhkan segera sampai ke depan. Nantinya, rantai massa aksi yang terbentang panjang akan bahu membahu membawakan alat atau barang yang dimaksud dari belakang hingga ke depan.

Mungkin, kita bisa mengembangkan strategi lebih spesifik di lain waktu dan tempat. Kalau mau aksi atau demonstrasi itu harus damai. Kita sudah menjalankan Aksi Kamisan yang berlangsung dari 18 Januari 2007 sampai dengan saat ini, dan tidak digubris sama sekali. Sudah saatnya, kita menggunakan aksi yang bersifat distruptif. Toh, para pemangku kebijakan negeri ini—DPR—bahkan destruktif dalam merumuskan undang-undang. Kenapa kita masih saja mau ditindas?