SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Kemana Arah Mosi Tidak Percaya?

Penulis: Ibnu Affan (Mahasiswa KPI UMJ)

Ilustrasi oleh ; M. Ghoni Ilmi


Kebijakan DPR dan pemerintah untuk melakukan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) pada (05/10) lalu, menuai berbagai polemik dan penolakan yang tegas oleh kalangan masyarakat dan sebagian akademisi. Berangkat dari situasi itu, timbul slogan Mosi Tidak Percaya sebagai bentuk reaksi tegas dari seluruh elemen masyarakat terhadap sikap para wakil rakyat yang kelewat koplak itu.

Akibat dari hal itu, elemen-elemen kelompok masyarakat di berbagai kota Indonesia seperti mahasiswa, buruh, pegiat lingkungan dan segala pihak yang “merasa” dirugikan melaksanakan parlemen jalanan atau aksi demonstrasi untuk menuntut pencabutan UU Ciptaker ini.

Memang, sudah banyak dibahas bahwa Undang-Undang ini sangat buruk dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, pekerja, lingkungan hidup, iklim investasi, bahkan pemberantasan korupsi. Apalagi proses perjalanan legislasi pembentukannya; mulai dari sembunyi-sembunyi, tidak melibatkan orang banyak--khususnya stakeholder dari pihak terkait, dan juga diputuskan dalam sebuah rapat yang hanya sekadar memenuhi standar prosedur demokrasi tetapi meninggalkan substansi demokrasi itu sendiri.

Tambah mirisnya lagi, setelah UU Ciptaker disahkan, banyak pula draft pasal yang masih di ubah-ubah, dikurangi maupun ditambahkan. Jadi ini bisa dikatakan “pembuat Undang-Undang yang melanggar aturan perundang-undangannya sendiri”. Sangat menggelitik, bukan?

Perjalanan pelanggaran konstitusi oleh pihak konstitusi itu sendiri kian menambah sempurna. Bagaimana tidak? Ketika para demonstran yang hendak bersuara dan menyatakan pendapat untuk menolak UU itu dikebiri hak-haknya, direpresi, hingga ditangkapi tanpa alasan yang jelas oleh—yang disebut sebagai “alat negara”, yaitu aparatur kepolisian.

Barangkali sudah begitu jelas, apa penyebab berbagai elemen masyarakat menyerukan dan beramai-ramai dalam demonstrasinya menyatakan Mosi Tidak Percaya kepada wakil rakyat kita, yaitu DPR. Kebijakan mereka memang pantas disoroti dan ditelanjangi.

Apa itu Mosi Tidak Percaya?

Perjalanan panjang aksi  demonstrasi Tolak Omnibus Law ini telah digelar diberbagai kota mulai dari bulan Agustus, September, bahkan hingga 20 Oktober kemarin. Tak pelak, yang lantang digaungkan oleh demonstran ialah—lagi dan lagi, yaitu Mosi Tidak Percaya. Untuk mengetahui kemana arah slogan itu, alangkah baiknya sekilas kita memahami apa itu Mosi Tidak Percaya terlebih dahulu.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mosi itu adalah sebuah hasil keputusan rapat suatu parlemen. Dengan kata lain, seperti pernyataan pendapat atau keinginan anggota parlemen (DPR) yang mengikuti rapat. Ketika ditambahkan kata “Tidak Percaya”, KBBI pun mengartikan ini sebagai sebuah penyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap kebijakan Pemerintah.

Dilansir dari hukumonline.com, dalam hal ini, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara gamblang tentang mosi tidak percaya. Namun, DPR mempunyai hak seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (UU Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah).

Tetapi, dalam konteks kasus massa aksi Tolak Omnibuslaw belakangan ini yang menyoroti publik, justru slogan ini mengarah kepada yang—secara konstitusional seperti DPR yang seharusnya mempunyai hak untuk menyatakannya, walaupun masyarakat juga punya hak dengan hal itu. Mereka seolah-olah menutup telinga melihat keluh kesah suara demonstran yang sudah bersusah payah memperjuangkan hak-haknya yang akan dirampas ketika UU itu sudah di-undangkan.

Hal ini semakin memperjelas kemana arah slogan yang disuarakan oleh berbagai elemen kelompok masyarakat kepada DPR dan Pemerintah perihal demonstrasi ini—dan sekarang, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah; bagaimana jika suara massa aksi tidak digubris sama sekali oleh pihak Pemerintah dan DPR? Lalu kemana arah slogan Mosi Tidak Percaya?

Jalan Buntu Aksi Demonstrasi Tolak Omnibus Law

Saat ini, memang massa aksi yang sedari awal sudah menyuarakan untuk mencabut UU Ciptaker ini lewat parlemen jalanan tidak digubris sama sekali oleh pemerintah. Padahal, kalau pemerintah sudah memahami tujuan dan memikirkan dampak demonstrasi yang dilakukan diberbagai daerah itu, mereka bisa melakukan tindakan untut mencabut kembali UU itu.

Tetapi, pada kenyataanya, pemerintah justru menggiring masyarakat yang menolak UU itu untuk mengajukan JR (Judicial Review). Ini terbukti dari pernyataan Presiden Jokowi. Ia meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendukung Undang-Undang ini seperi dikutip dari republika.co.id.  Para legislator dan presiden sepertinya memang sudah mempersilakan untuk menguji Undang-Undang Cipta Kerja ke MK.

Memang, secara konstitusional itu adalah hal yang tidak melanggar undang-undang. Tetapi cara dan proses ini seolah-olah menempatkan posisi MK hanya sebatas keranjang sampah saja. Mahkamah Konstitusi dititah menguji Undang-Undang yang cacat formil sedari awal pembentukannya. Bukankah ini hal yang lucu?

Selanjutnya, tuntutan massa aksi untuk membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu)-pun hanya menjadi angan-angan belaka. Bagaimana tidak? Sedari awal salah satu penggagas yang menginiasi adanya Omnibus Law ini adalah beliau sendiri. Ia yang berkali-kali menegaskan kepada DPR untuk mempercepat pengesahan UU tersebut sembari menggaungkan dalih mulia; demi pemulihan ekonomi, kemudahan investasi, dan sebagainya. Jadi apakah tuntutan ini akan tercapai? Tentu tidak.

Salah satu alasannya untuk menyederhanakan regulasi yang ada juga dinilai nihil dan omong kosong. Banyak aturan turunan baru pemerintah yang akan dibuat untuk meneruskan aturan yang ditetapkan pada Undang-Undang tersebut.

Rasanya, memang sulit sekali untuk berprasangka baik terhadap realita yang dihadapkan oleh pihak konstitusi ini. Jalan buntu nampak terlihat oleh elemen masyarakat yang suara lantangnya terus-terusan dianggap remeh-temeh oleh pemerintah dan DPR. Tetapi, terpojok di sudut lapangan, tak sepatutnya berpangku tangan.

Masih banyak gerakan alternatif elemen kelompok masyarakat maupun mahasiswa untuk menerobos pintu besi yang telah dipasang oleh pemerintah dan pihak lainnya, demi memuluskan kepentingan segelintir orang dan membangun sistem yang keji dengan adanya Undang-Undang ini. Persatuan, solidaritas, pastisipasi aktif dan prinsip yang lahir dari seluruh elemen masyarakat harus tetap dijaga dan dipertahankan.

Selain itu, bentuk pendiskusian dan penyadaran harus tetap digaungkan kepada lingkaran partikelir masyarakat pada lapisan paling bawah. Gerakan slogan Mosi Tidak Percaya bukan dimaknai hanya sekadar untuk membatalkan Omnibus Law saja. Lebih dari itu, slogan ini mengantarkan kepada nafas panjang semangat rakyat untuk membela hak-haknya yang dikebiri oleh negara.

“Jika orang-orang jahat membuat Undang-Undang jelek, tugas orang baik adalah mengabaikannya”.

 

*Tulisan ini adalah hasil dari kegiatan diskusi yang dicanangkan oleh kawan-kawan Gerakan Mahasiswa Bersatu dan Merdeka (GEMAKASA) yang bertajuk “ Kemana Arah Mosi Tidak Percaya?. Dilaksanakan pada (19/10) bertempat di pelataran kampus.