SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Askar Perang Sabil, Pejuang Kemerdekaan Bentukan Ulama Muhammadiyah

 Penulis: Nafil Ahmad

Foto: Pesantren.id

Sudah 76 tahun Indonesia merdeka. Semua tak luput dari perjuangan para pahlawan terutama dari kalangan santri, kiai, ulama, dan habaib untuk membebaskan Indonesia dari penderitaan penjajahan yang telah dilakukan oleh Belanda dan Jepang.

Pada masa prakemerdekaan Indonesia, organisasi telah banyak berdiri terutama organisasi keagamaan. Akan tetapi, di antara organisasi keagamaan yang telah berdiri tersebut, NU (Nahdhlatul Ulama) dan Muhammadiyah yang lebih terkenal dan terbesar di Indonesia.

Belum genap 5 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, kemerdekaan Indonesia langsung diuji para penjajah. Pada tahun 1947 Belanda bersama pasukan Sekutu yang bersenjata lengkap datang kembali untuk merebut tanah air.

Keadaan yang genting memaksa ibu kota Republik dan Pemerintahan di Jakarta, dipindahkan secara darurat ke Yogyakarta. Kaum Muslimin yang telah menggantungkan senjata mereka setelah Indonesia merdeka kembali bangkit menyiapkan harta, benda, jiwa dan raganya untuk negeri.

Sebagai respons, di Yogyakarta, para ulama Muhammadiyah menginisiasi dibentuknya Askar Perang Sabil pada 23 Juli 1947 yang segera memberikan pukulan telak terhadap penjajah.

Askar Perang Sabil (APS) dikatakan sebagai organisasi kelaskaran bentukan Muhammadiyah, ideologi Perang Sabil dijiwai oleh perintah Al-Qur’an untuk menggerakan umat melawan kolonial dan kezaliman sekaligus wujud keimanan dalam bentuk mencintai tanah air.

Sebelumnya, anggota Askar Perang Sabil (APS) merupakan mantan barisan militer kaum Muslimin yang diprakarsai oleh Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) bernama “Laskar Hizbullah”. Pada tahun 1944, mereka berpisah dan bergabung dengan Askar Perang Sabil (APS) karena ingin berjuang di jalur militer dengan bernafaskan Islam.

Selain para pemuda yang bergabung dengan APS, para ulama kondang saat itu pun bergabung seperti KH Machfudz, H. Juraimi, KH Ahmad Badawi, KH Amin dan KH Abdullah

Dilansir dari Muhammadiyah.or.id, Pada agresi milter I , Muhammadiyah menerjunkan pasukan APS untuk pertama kalinya ke front pertempuran di daerah Mranggen dan Srondol.

Sementara pada agresi militer II, Muhammadiyah bekerja sama dengan pasukan TNI untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Yogyakarta.

Dalam pertempuran di Srondol, Semarang pada tanggal 4 Juli 1946, cucu Kiai Ahmad Dahlan, Ahmad bin Hilal gugur sebagai syahid  dalam peperangannya bersama Laskar Hizbullah di daerah tersebut.

Adapun penelitian ini menggunakan teknik analisa kualitatif, yaitu analisa yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari fenomena historis pada cakupan waktu dan tempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa puncak dari keikutsertaan Askar Perang Sabil (APS) dalam Revolusi Fisik adalah ketika membantu TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan tugas menghambat pasukan Belanda memasuki kota.