SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Pementasan Teater Janger Merah, Sebuah Naskah yang Menceritakan Kejadian G30S di Bali

 

Foto: Pementasan Teater Syahid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 'Janger Merah' di AIC Ciputat (Dok. Supermedia)

Cirendeu, Supermedia.id – “Kami suka dengan isi yang ada di naskah ini dan dialog-dialognya juga tidak terlalu metafor (terlalu banyak kiasan) bahasanya pun dinamis yang sering dipakai sehari-sehari. Kami juga suka dengan isu yang ada di naskah ini. Pesan yang ada dalam naskah ini sebenarnya bisa multitafsir sesuai bagaimana pandangan penonton, namun sebenarnya yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kami bukan bagian kiri ataupun kanan, tapi kami diantaranya.” Ucap Rusydi Jamil F, selaku Sutradara saat di wawancarai dalam sesi diskusi sehabis pementasan Teater.

Dengan membawakan naskah yang berjudul “Janger Merah” karya Ibed S. Yuga, Teater Syahid Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tampil di ajang Festival Teater Kampus (FTK) yang dilaksanakan di Aula Insan Cita Ciputat pada Minggu, 03/09/2021.

Pada masa kejadian G30S di Bali tahun 1965 silam, ialah merupakan masa-masa yang kelam bagi sebagian orang, masa-masa terburuk, dan bahkan menyebabkan trauma yang mendalam. Seperti yang dialami oleh suami Srengi, yang menjadi korban kebrutalan pada masa itu. Setelah 50 tahun berlalu, ingatan tersebut tidak bisa Ia lupakan. 

Srengi muda dulunya adalah penari janger, namun banyak pula penari janger pada masa itu yang dibunuh dengan alasan bahwa penari janger adalah ‘penghibur’ para golongan kiri. Ia bahkan difitnah sebagai primadona gila, bintang panggung yang hilang ingatan hingga bahkan ratu leak. 

Ketika ia mendengar kabar bahwa kuburan bekas korban G30S akan dibongkar, Ia seperti dipaksa untuk kembali mengingat masa-masa kelam dahulu. Bukannya malah melupakan, Ia malah menemukan fakta yang lebih mengejutkan dari suami keduanya. Hal itu menambah trauma bagi dirinya sendiri.

Janger, atau Tarian Janger ini merupakan tarian tradisional yang berasal dari Bali. Umumnya tarian tersebut dimainkan secara berkelompok sebagai hiburan untuk para petani di Bali pada saat merasa lelah ketika bekerja. Selain itu, tarian janger juga sering dibawakan oleh pemuda untuk saling berkenalan antara dusun satu dengan dusun lainnya.

Pesan yang ingin coba disampaikan adalah tentang rekonsiliasi, yaitu bahwa golongan kiri bukan selalu tentang kejahatan dan juga ingin menghilangkan stigma tersebut agar tidak terjadi intimidasi maupun diskriminasi hanya berdasarkan keluarga atau kerabat dari golongan kiri.

Makna dari pesan yang ingin ditampilkan pun muncul setelah adanya beberapa diskusi yang dilaksanakan oleh semua orang yang terlibat. Dari mulai membaca naskah berulang kali, diskusi terkait segala unsur didalamnya, hingga melakukan pencarian dan peniruan dari segala objek yang ada di sekitar.

“Terkait pesan yang itu bisa disampaikan atau tidak, kembali kepada penonton apakah pesan tersebut bisa dipahami atau tidak” kata salah satu pemain naskah “Janger Merah”. Karna memang bisa dipahami secara multitafsir tergantung pada bagaimana sudut pandang si penonton.

Isu-isu ini terjadi di Bali, dengan penggambaran suasana menggunakan umbul-umbul, sajen, dan juga sebuah simbolis pohon besar di tengah dan juga setting Pura. Bahwa di Bali, mereka sudah berani melakukan pembongkaran terhadap kuburan bekas korban golongan kiri, tanpa adanya tendensi apapun. Berani menceritakan kembali mengenai tragedi dan kekejaman pada masa-masa itu.

Reporter: IMS

Penulis: TAH