Tolak Permendikbudristek PPKS, Muhammadiyah Keluarkan Siaran Pers
Foto: Siaran Pers Diktilitbang PPM
tentang penolakan terhadap Permendikbudristek No 30 Tahun 2021. |
Cirendeu,
Supermedia - Baru-baru ini Kementeriaan Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) mengeluarkan Permen
Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di
Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan tersebut dibuat oleh
Kemendikbudristek dengan upaya menanggulangi kekerasan seksual di perguruan
tinggi yang dicatatkan dengan tiga poin, yaitu :
1.
Setiap warga negara berhak mendapatkan
pelindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
dengan semakin meningkatnya kekerasan
seksual yang terjadi pada ranah komunitas termasuk perguruan tinggi secara
langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kurang optimalnya
penyelenggaraan Tridharma Perguran Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan
tinggi; dan
3.
untuk mencegah dan menangani kekerasan
seksual di perguruan tinggi, perlu pengaturan yang menjamin kepastian hukum
dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Akan tetapi, hal tersebut tidak
melulu mendapatkan respons baik dari beberapa pihak. Majelis Pendidikan Tinggi
Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Diktilitbang PPM) menolak
dengan mengeluarkan Siaran Pers pada bulan September 2021. Persyarikatan
Muhammadiyah yang juga memiliki fokus pada bidang pendidikan tinggi yang
dijadikan sebagai gerakan dakwah dan tajdid telah melakukan kajian yang cermat
terhadap pembentukan peraturan menteri tersebut dan melalui press release ini menyampaikan sejumlah
catatan sebagai berikut :
1.
Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam, meyakini dan memahami bahwa Islam adalah sumber nilai untuk mengatur
seluruh aspek kehidupan (AlMaidah:3). Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai
yang mengatur kesetaraan laki-laki dan perempuan yang saling memuliakan atas
dasar agama (Al- Hujarat: 13; Al Isro:70). Tata nilai Islam yang komprehensif
termasuk mengatur nilai dan relasi seksual yang halal, beradab dan bermartabat
(An-Nur:30-31).
2.
Persyarikatan Muhammadiyah memiliki
komitmen yang tinggi terhadap pencegahan dan perlindungan dari segala bentuk
kekerasan baik di lingkungan domestik maupun publik, termasuk yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi. Khusus di lingkungan perguruan tinggi telah dituangkan
dalam pedoman dan implementasi penyelenggaraan Catur Dharma Perguruan Tinggi
Muhammadiyah yang berbasis Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
3.
Sikap kritis Persyarikatan Muhammadiyah
terhadap pembentukan Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 dikarenakan peraturan
tersebut memiliki masalah formil dan materiil. 4. Masalah Formil yaitu:
a.
Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak
memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya asas
keterbukaan tersebut terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi
Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan
minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan
asas keterbukaan.
b.
Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak
tertib materi muatan. Terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan
adanya pengaturan yang melampaui kewenangan, yaitu: Pertama, Permen
Dikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur materi muatan yang seharusnya diatur
dalam level undangundang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang
diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permen Dikbudristek
No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi
otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Vide Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan “Satuan Tugas
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” (Vide Pasal 23 Permen Dikbudristek
No 30 Tahun 2021).
4.
Masalah Materiil yaitu:
a.
Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma
tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung
pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor, padahal sejatinya
multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut
bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi
kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi “mu’asyarah bil-ma’ruf” (relasi
kebaikan) berbasis ahlak mulia.
b.
Perumusan norma kekerasan seksual yang
diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban”
dalam Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021, mendegradasi substansi kekerasan
seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban
(consent)”.
c.
Rumusan norma kekerasan seksual yang
diatur dalam Pasal 5 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna
legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai
agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak.
Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi
benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
d.
Pengingkaran nilai agama dan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan
tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
e. Sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dalam Pasal 19 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 tidak proporsional, berlebihan, dan represif. Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan. (ANH/RR)