Oleh Akbar Firmansyah
 |
Ilustrasi foto: Pixabay |
Sebagai
seorang Muslim di Indonesia, setiap akhir tahun kita akan selalu disuguhkan pembahasan
yang selalu menjadi perbincangan dan menjadi perdebatan antar kaum Muslimin. Mungkin
kita juga sudah terbiasa dengan pembahasan ini setiap tahunnya. Ya, pembahasan
tentang ucapan selamat dalam perayaan agama lain, seperti Natal dan tahun baru.
Kenapa
ini selalu jadi pembahasan di setiap tahunnya? Padahal, seharusnya ini bukan
urusan kita sebagai umat Islam karena perayaan hari raya mereka urusan mereka.
Intinya kita tidak mengganggu mereka dalam pelaksanaan ritual agama mereka dan kita
tidak perlu ikut-ikutan repot membantu atau sampai mengucapkan selamat kepada
mereka hanya karena ingin disebut paling “toleran". Perihal toleransi,
dalam Islam sudah jelas tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Untukmu agamamu, dan
untukku agamaku." (Qs: Al-kafirun:6)
Ayat
ini jelas menerangkan bahwa kita sebagai muslim untuk tidak mengganggu mereka
dan tak perlu juga masuk dalam ritual-ritual agama mereka. Kenapa hal ini
selalu dibahas oleh da'i-da'i kita setiap tahunnya? Padahal, sudah sering kita
mendengar perihal ini. Pertama, sebab kita manusia memang ditabiatkan sebagai
makhluk yang pelupa, maka kita sebagai manusia selalu butuh dengan pengingat
sebagai nasihat diri. Kedua, karena di Indonesia ini teramat banyak da'i-da'i
penyesat umat dari kaum Sekuler, Pluralis, dan Liberal (Sepilis) yang ingin
merusak akidah kaum Muslimin dengan dalih "toleransi" dengan tujuan
untuk menjauhkan kita dari ajaran-ajaran agama kita sendiri, yaitu Islam.
Betapa
banyak dari umat Islam di Indonesia ikut tercemar pemikiran sesat kaum “Sepilis”
sehingga banyak yang meremehkan hal
dasar tentang akidah agama Islam yang seharusnya kita ketahui. Mereka
mengatakan "ini kan cuma sekedar ucapan, tidak mengganggu keimanan", mereka
lupa kalau dalam Islam tak ada yang namanya sekadar ucapan. Bukankah dengan
ucapan seorang kafir dapat menjadi mualaf? Dengan ucapan pernikahan itu menjadi
sah? Dengan ucapan pula suami istri dapat berpisah? Dan dengan ucapan seorang Muslim
bisa menjadi kafir? Maka kita sebagai umat Islam seharusnya jangan pernah
menganggap remeh terhadap ucapan yang keluar dari lisan. Mereka tak sadar bahwa
ucapan selamat itu adalah ucapan yang paling dzalim, sebab yang diyakini dalam
akidah kaum Nasrani bahwa hari itu adalah hari lahirnya “anak Tuhan”, lalu pantaskah
Allah dikatakan punya “anak” seperti yang disuarakan oleh orang Nasrani? Sungguh
perkataan ini adalah perkataan munkar yang hampir membuat langit terbelah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا اتَّخَذَ
الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ
السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا
(90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ
يَتَّخِذَ وَلَدًا(92)
“Dan
mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.”
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar,
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh, karena mereka menda’wakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan
tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.” (QS.
Maryam: 88-92).
Tak
berhenti hanya di ucapan selamat saja, kita juga sering melihat umat Islam di
Indonesia banyak yang ikut merayakan Hari Raya Natal bersama, bahkan ada yang
sampai menjaga Gereja, mengisi ceramah, kosidahan diiringi lagu-lagu kaum Nasrani,
dan masih banyak contoh lainnya. Bayangkan, kaum Sepilis tidak berhenti
menggerogoti akidah kita, di situ mereka terus merusak kaum Muslimin sampai
benar-benar mengikuti ajaran agama orang-orang Nasrani, bahkan agama kaum Musyrikin
lainnya. Beginikah toleransi yang diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya? Mari
kita lihat atsar para ulama terdahulu sebagai berikut:
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum Muslimin menghadiri perayaan non
Muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha
dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih
dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لاَ تَدْخُلُوْا عَلَى المشْرِكِيْنَ فِي
كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فَإِنَّ السُخْطَةَ تَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah
kalian masuk pada non-muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar
berkata,
اِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِي
أَعْيَادِهِمْ
“Jauhilah
musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”
Demikian
disebutkan perkataan seperti ini oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli
Dzimmah. Perkataan di atas jelas bahwa kita wajib menjauhi tempat-tempat
perayaan mereka pada saat hari raya mereka, sebab murka Allah sedang turun
kepada mereka. Bukan hanya mendekati, bahkan ikut merayakan bersama mereka. Apakah
kita tidak takut dengan murka Allah? Jadi sebaiknya kita sebagai umat Islam
tidak perlu latah untuk repot dalam mengucapkan selamat bahkan ikut masuk ke
perayaan mereka karena hal ini sangat-sangat dimurkai oleh Allah.
Allahu
a'lam bisawaab.