Distorsi Realitas Perempuan dalam Konten Dakwah Konservatif
Oleh Kalis Mardiasih
*Sebelumnya dimuat di remotivi.or.id, dengan lisensi CC BY-NC 4.0.
Ilustrasi oleh Nidiansrafi. Sebelumnya telah dimuat oleh remotivi.or.id, dengan lisensi CC BY-NC 4.0. |
Bangunlah pagi hari. Mulailah aktivitas dengan pergi ke pasar
tradisional, di mana kita dapat melihat bagaimana sirkulasi ekonomi mengalir
melalui tangan perempuan. Sejak gelap sebelum subuh, suara perempuan bersahutan
nyaring, mengontrol logistik barang dari truk pemasok ke lapak-lapak mereka,
mempraktikkan keterampilan diplomasi dalam tawar menawar harga, juga menyajikan
gaya politik untuk membuat penyuplai atau pembeli memperhitungkan kembali
penawaran mereka. Pasar adalah satu contoh area di mana tenaga, pikiran, dan
keputusan perempuan berperan di kehidupan nyata.
Tapi, hiruk pikuk suara perempuan nyaris tak tampak dalam
materi dakwah konservatif di dunia maya, seperti kanal Youtube pendakwah agama
atau akun Instagram ukhti-akhi influencer. Di akun dakwah yang punya targetaudiens perempuan, simbol eksistensi perempuan dihadirkan dalam ilustrasi
perempuan berpakaian serba gelap, dilukis dengan siluet tanpa wajah, dengan
pose menunduk. Tak ada gerak dan gairah produktivitas, malah mengaburkan
realitas.
Penyempitan Makna
Salihah
Dalam berbagai akun dakwah populer di Instagram, kesalihahan
tidak didefinisikan lewat kiprah perempuan melalui peran ekonomi, sosial, atau
kepemimpinan. Salihah adalah tentang penampilan. Standar nilai penampilan
muslimah bersifat mutlak dan tunggal. Perempuan dianggap tidak salihah jika
belum berpakaian sesuai syariah dan kaffah (sempurna), dengan puncak
kesempurnaan adalah memakai cadar. Peran perempuan dibatasi untuk menjaga moral
laki-laki. Pandangan ini berdasar asumsi bahwa perempuan adalah godaan
terbesar. Konsekuensinya, muncul aturan yang membatasi perempuan, misalnya
larangan mengunggah foto di media sosial.
Salihah juga digambarkan sebatas kepatuhan dan pelayanan pada
suami. Dalam sebuah ceramah di Youtube, seorang ustadzah bergelar doktor seolah
menafikan titelnya dengan menyerukan bahwa setinggi apapun ilmu perempuan,
kedudukannya tetap lebih rendah dari lelaki. Materi dakwah serupa dari Youtube
seringkali direproduksi dalam bentuk meme untuk disebar lintas platform untuk
terus menegaskan domestifikasi ruang perempuan karena “fitrahnya adalah betah
di rumah.”
Dalam situs dakwah konsevatif, perempuan jarang diberi tempat
membicarakan dirinya sendiri. Perempuan menjadi objek yang setiap aktivitasnya
ditanyakan hukum boleh dan tidaknya. Bolehkan perempuan berdandan? Bolehkan
perempuan keluar rumah tanpa izin suami? Bolehkah perempuan bekerja di ruang
publik? Bolehkah perempuan menjadi pemimpin?.
Sebagian besar pertanyaan itu diberikan jawabannya oleh ulama laki-laki
dengan jawaban yang seringkali lebih restriktif dibanding akomodatif.
Cara konten dakwah mendefinisikan peran perempuan juga
berujung pada kompetisi dan keributan yang sia-sia. Misalnya, perdebatan antara
ibu bekerja vs ibu rumah tangga. Situs dakwah konservatif menganggap bahwa
istri yang berkiprah di rumah lebih nyunnah. Anggapan ini sering mencomot ayat
Quran (QS. Al Ahzab: 33) dan menafsirkannya tanpa konteks. Tafsir parsial juga
ditambah dengan stereotip bias gender seperti laki-laki lebih kuat atau
perempuan lebih lembut. Argumen ini lemah karena sejak zaman Rasulullah, ada
banyak catatan sejarah tentang perempuan bekerja. Bahkan istri dan sahabat
perempuan Rasulullah bekerja dalam berbagai bidang, seperti kesehatan,
perkebunan, perdagangan, membuat kriya dan mengajar.
Saya yakin, sebagian besar dari kita – dan mungkin banyak
pendakwah laki-laki – lahir dan dibesarkan oleh Ibu pekerja, Ibu pemimpin,
sekaligus Ibu rumah tangga. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, peneliti,
pengacara, pedagang, Ibu kita berkiprah dalam berbagai profesi. Kita tidak
lantas meragukan apakah ibu kita adalah seorang istri atau ibu yang baik hanya
karena mereka bekerja. Tak terpikir pula bahwa Ibu hanya pantas ada dalam ruang
domestik, dan tak layak tampil di depan publik.
Kepemimpinan atau pekerjaan perempuan tak perlu diributkan.
Perdebatan soal kompetensi perempuan yang dianggap lebih rendah dari laki-laki
juga tak relevan karena banyak sosok Ibu
yang juga seorang dokter atau doktor. Tapi perdebatan ini justru terus diulang
dalam ceramah pendakwah dengan narasi yang menghakimi perempuan.
Berdampak Bahaya
Tak hanya menghakimi, distorsi realitas perempuan dalam
konten dakwah konservatif juga berbahaya, khususnya bagi perempuan muda. Contoh
paling mengkhawatirkan adalah konten kampanye nikah muda yang dibingkai ayat
agama. Konten ini umumnya mencomot teks Quran dan hadits perihal keutamaan
“jumlah umat yang banyak.” Muncul pula klaim bahwa mereka yang menunda
perkawinan atau merencanakan kehamilan artinya berdosa karena mendahului
takdir.
Kanal influencer Ukhti Mega Official, contohnya, mempromosikan
video dengan deskripsi clickbait: “Hamil 17 tahun. Gimana rasanya pertama kalitidur sama suami?” Judul serupa akan mudah ditemukan ketika kita mencari kata
kunci “nikah muda” di Youtube. Tak peduli simbol dan identitas agama yang
ditonjolkan, Ukhti Mega tetap saja menjual imajinasi tentang seksualitas.
Videonya “sukses” jadi viral di medsos, menjaring lebih dari satu juta views
dan banyak komentar baper dari para remaja puber.
Konten dakwah nikah muda seperti Ukhti Mega berbahaya karena
melegitimasi dan menormalisasi perkawinan anak yang, sayangnya, telah jadi
jualan media massa. Padahal perjuangan untuk menghapuskan perkawinan anak di
Indonesia harus melalui jalan panjang dan terjal. Baru di tahun 2019, setelah
45 tahun (!), akhirnya revisi UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
disetujui dan usia perkawinan dinaikkan menjadi 19 tahun. Perkawinan di bawah
usia itu tak diakui legalitasnya oleh negara. Artinya, yang dipromosikan Ukhti
Mega tidak lain dan tidak bukan adalah perkawinan anak.
Padahal, data dampak perkawinan anak di Indonesia sangat
memperihatinkan. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak tahun 2017, sebanyak 85% perempuan dalam perkawinan usia anak terpaksa
mengakhiri pendidikan lebih awal dan 41% perempuan mengalami kekerasan dalam
rumah tangga. Belum lagi risiko kesehatan. Kehamilan dalam usia anak memiliki
risiko persalinan lima kali lipat lebih tinggi, serta risiko kelahiran
premature dan kematian bayi, dan 40% probabalitias yang lebih tinggi untuk
melahirkan anak stunting. Selain itu, perkawinan anak juga berdampak struktural
dengan memperpanjang siklus ketidaksetaraan gender dan kemiskinan
berkelanjutan.
Data dan fakta ini hilang dalam video Ukhti Mega atau seminar
nikah muda. Di media Islam konservatif, nikah muda (dan perkawinan anak)
dibicarakan dalam kerangka tujuan menghindari perzinahan dan melindungi diri
dari fitnah. Logika ini berumus oposisi biner benar dan salah misalnya seperti:
“Daripada Pacaran Penuh Maksiat, Maka Menikahlah Segera agar Penuh Pahala.”
Logika ini yang jadi inti gerakan populer di media sosial seperti kampanye
#IndonesiaTanpaPacaran.
Solusi simplistik yang ditawarkan berbagai konten dakwah
konservatif sangat minim kreativitas dan imajinasi tentang masa depan. Realitas
perempuan dibingkai dalam kerangka moral yang ekstrim. Seolah tak ada opsi
menjalani hubungan sehat yang saling mendukung cita-cita masing-masing subjek
dalam relasi. Tak ada pula opsi bahwa perempuan dapat menjalani hidup sebagai
lajang dan tetap memiliki hidup yang menyenangkan serta penuh pahala.
Narasi relijius dalam konten dakwah nikah muda hanya mengglorifikasi pernikahan sebagai cerita penuh bunga-bunga. Yang dilihat hanya enaknya saja. Amat jarang pernikahan didiskusikan sebagai proses perjalanan hidup, kadang menyenangkan, kadang memberatkan. Pada akhirnya, yang dominan dalam konten para influencer pendakwah ini adalah distorsi dan ilusi yang membatasi dan membahayakan perempuan.