SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Menelaah Kritik Menteri Keuangan Terhadap Kebijakan AS Lewat Model Shannon-Weaver

Oleh Alwi Rahman Kusnandar

ajaib.co.id

Dalam dunia globalisasi dan diplomasi ekonomi, pernyataan seorang pejabat tinggi seperti Menteri Keuangan Indonesia memiliki dampak yang luas. Baru-baru ini, Sri Mulyani mengkritik kebijakan tarif resiprokal yang diambil oleh Amerika Serikat, menyebutnya “seolah dibuat serampangan.” Pernyataan ini dimuat dalam berita MetroTV. Lantas bagaimana efektivitas penyampaian pesan pada berita tersebut jika ditinjau menggunakan sebuah teori model komunikasi?

Salah satu teori model komunikasi, yaitu model komunikasi shannon weaver adalah salah satu model komunikasi paling klasik dan berpengaruh, yang memetakan proses komunikasi menjadi beberapa elemen penting. Model ini awalnya dikembangkan dalam konteks komunikasi teknis di bidang telekomunikasi, namun kemudian diadaptasi secara luas dalam berbagai bidang termasuk komunikasi massa, komunikasi antarpribadi, dan komunikasi politik. Elemen penting tersebut adalah source (pengirim), encoder (penyandi), channel (saluran), decoder (penyandi balik), receiver (penerima), dan noise (gangguan). Model ini menitikberatkan pada kejelasan dan efisiensi transmisi pesan dari sumber ke penerima melalui saluran komunikasi tertentu.

Dalam konteks pernyataan Sri Mulyani, model komunikasi Shannon dan Weaver dapat diterapkan untuk memahami bagaimana pesan kritik tersebut dikonstruksi dan disampaikan kepada publik. Sri Mulyani sebagai source menyampaikan kritik terhadap kebijakan tarif Amerika Serikat melalui media sebagai channel, yaitu MetroTV. Penyandian pesan (encoding) dilakukan melalui pilihan kata yang tegas, seperti “seolah dibuat serampangan”, yang ditujukan untuk menunjukkan ketidakteraturan atau ketidakkonsistenan kebijakan AS. Pesan ini kemudian disiarkan dan diinterpretasikan oleh publik, media internasional, dan pihak AS sebagai receiver.

Namun, di sinilah potensi noise muncul. Istilah “serampangan” dapat dimaknai sebagai kritik tajam yang emosional dan berpotensi menimbulkan resistensi atau misinterpretasi, terutama dalam konteks hubungan diplomatik. Ini menunjukkan bahwa meskipun saluran komunikasi berjalan lancar, isi pesan bisa terganggu oleh persepsi subjektif audiens atau framing media.

Efektivitas komunikasi dalam kasus ini sangat bergantung pada kemampuan audiens dalam menyaring makna utama dari pesan yang disampaikan, serta pada kepekaan pengirim pesan terhadap konteks diplomatik yang kompleks.

Melalui analisis model Shannon dan Weaver, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Menkeu Sri Mulyani memiliki saluran komunikasi yang kuat dan pesan yang jelas, namun berpotensi terganggu oleh elemen noise dalam bentuk pemilihan diksi yang emosional. Untuk efektivitas komunikasi diplomatik, kejelasan dan kehati-hatian dalam penyampaian tetap krusial agar pesan tidak hanya sampai, tetapi juga dimaknai sesuai maksud pengirim.