Di Antara Organisasi dan Distorsi
Senin, 20 Oktober 2025
Oleh Hanum Haulia
Doc by Detik.com
Organisasi mahasiswa sering kali dimaknai sebagai wadah pembelajaran dan laboratorium kepemimpinan. Organisasi mahasiswa menjadi ruang belajar tentang kebersamaan yang lahir dari kesadaran bahwa perubahan ke arah yang lebih baik membutuhkan kesadaran kolektif serta gerakan kolektif. Sebab, satu tangan kiri belum cukup untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
Distorsi terjadi ketika organisasi mahasiswa lebih sibuk mempertahankan eksistensi daripada menyalakan esensi, ketika orientasi organisasi bergeser hanya pada ambisi yang menutupi empati untuk perebutan posisi, kegiatan yang sebatas formalitas program kerja, dan pengkultusan terhadap senior yang ternyata penuh kejumudan, bahkan menjadi ruang gelap jual beli bagi “pelacur gerakan”. Hal inilah yang membuat organisasi mahasiswa kehilangan maknanya dan berubah menjadi arena ego yang dibungkus dengan idealisme, sehingga mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan (agent of change) justru terjebak dalam pola yang sama seperti apa yang dulu mereka kritik.
Di kampus, organisasi mahasiswa kerap menjadi panggung sandiwara. Di sana, kita dapat melihat organisasi yang lahir dari semangat perubahan sering kali tersesat karena kepentingan. Kebanyakan dari kita sibuk menyusun proposal kegiatan tetapi melupakan nurani kemanusiaan, sibuk menunaikan program kerja namun mengabaikan substansinya, dan sibuk mempertahankan posisi hingga lupa menunaikan visi-misi. Realitanya, kini organisasi mahasiswa mengalami distorsi, di mana kejujuran sering kali dikorbankan karena kebisuan dianggap lebih aman. Kritik ditafsirkan sebagai ancaman, loyalitas diukur dari kepatuhan, bukan dari keberanian memperbaiki kekeliruan. Siapa pun yang tidak sejalan, apalagi dianggap mengganggu kepentingan, pasti akan disingkirkan. Pada titik inilah organisasi mahasiswa menjelma menjadi lingkaran setan yang memelihara kepalsuan.
Dalam buku Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan, “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Kutipan ini menjadi cermin bagi mahasiswa sebagai kaum terpelajar untuk menegakkan keadilan, baik dalam pikiran maupun dalam perbuatan. Walaupun realitanya, organisasi yang saya temukan sering kali dibenturkan pada banyaknya hantaman distorsi, sehingga adil menjadi sesuatu yang nihil. Program kerja disusun, rapat berjalan, kegiatan dilaksanakan, dan laporan disiapkan sebaik mungkin, tetapi idealisme dijual hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi. Bahkan mereka yang berteriak lantang “Hidup Rakyat Indonesia” pun sering kali tidak berpihak pada rakyat. Padahal, organisasi mahasiswa tidak seharusnya berhenti pada administrasi atau membuat program kerja baru, melainkan juga harus memiliki semangat kemanusiaan yang melandasinya.
Terlepas dari banyaknya distorsi yang terjadi. Menurut saya, organisasi mahasiswa tetap merupakan wadah untuk belajar. Organisasi ini tidak bersalah dan tidak dapat disalahkan. Saya menganalogikannya seperti kereta yang sudah memiliki jalur dan mengetahui rutenya. Namun, ketika kereta tersebut keluar dari jalurnya atau tidak sesuai rutenya, apakah yang disalahkan keretanya? Jelas tidak, karena kereta hanyalah benda mati. Sedangkan yang mengecek berbagai bagian dari kereta dan menggerakkannya adalah manusia.
Hal yang sama berlaku untuk organisasi mahasiswa yang memiliki AD/ART, buku panduan organisasi, dan berbagai acuan arah gerak. Artinya, organisasi sudah memiliki jalur dan arah yang jelas. Namun, ketika organisasi keluar dari jalurnya atau tidak sesuai dengan rutenya, yang seharusnya disalahkan adalah manusianya, bukan organisasinya. Sebab, organisasi hanyalah wadah, sedangkan yang menjalankan roda organisasinya adalah manusia.
Kini, saatnya kita semua merefleksikan diri. Organisasi mahasiswa tidak akan pernah sempurna, sebab dijalankan oleh manusia yang juga tidak sempurna. Namun yang membuatnya tetap hidup adalah kemampuan untuk menyadari kekeliruan dan memperbaikinya. Sebab, evaluasi tanpa perbaikan sama saja seperti mengulang kesalahan dalam bentuk yang lebih rapi.
Distorsi yang kerap terjadi bukanlah hukuman, melainkan peringatan bahwa organisasi mahasiswa bukan sekadar jembatan untuk mencapai jabatan, bukan medan perebutan kekuasaan, dan bukan alat tukar untuk pembungkaman. Melainkan, taman untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dalam menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
Kita yang ada di dalamnya harus berani bertanya, terutama pada diri sendiri:
“Apakah kita sudah menjalankan peran dan fungsi sebagai mahasiswa?”
“Apakah yang kita lakukan masih sejalan dengan nilai yang kita junjung?”
“Apakah hal ini memberikan kemaslahatan bersama atau hanya sebatas memenuhi kepentingan semata?”
“Apakah keputusan ini memanusiakan manusia, atau sekadar mempertahankan nama?”
Sebab di tengah dunia yang sangat dinamis dan penuh formalitas seremonial, pada akhirnya organisasi sejati bukanlah yang paling besar, paling sibuk, atau paling terkenal, tetapi yang paling setia pada idealisme yang melahirkannya serta mampu mewujudkan perubahan nyata ke arah yang lebih baik.
