SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Perempuan dan Peran di Tengah Negara yang Membingungkan

Oleh Hanum Haulia

 
Doc by: CNBC

Di tengah gejolak dinamika politik yang kian kompleks di Indonesia, ketika arah negara ini terasa membingungkan dan suara keadilan kerap tenggelam di antara hiruk-pikuk kepentingan, perempuan tidak dciptakan menjadi simbol yang semu. Tetapi perempuan dapat menjadi bagian dari secercah cahaya di negara yang kelabu dengan mengambil peran tanpa ragu. Setelah perjalanan panjang yang sering kali menempatkan perempuan pada posisi marginal, berbeda dengan kondisi sekarang bahwa perempuan diberikan kesempatan untuk mampu mengisi peran pada ruang publik yang tidak lagi dibatasi oleh sekat ruang pada ranah domestik. 

Perempuan memiliki peran yang sama pentingnya dengan laki-laki. Mereka mampu berpartisipasi, tidak hanya di ruang formal, tetapi juga melalui aksi nyata: menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan dengan turun ke jalan melalui aksi demontrasi maupun melalui media sosial. 

Dalam buku Feminisme dan Relevansinya, karya Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan disebutkan: "Kaum Perempuan oleh karenanya harus mampu mengambil sikap untuk semua hal, untuk setiap masalah; apakah hal itu mengenai perang nuklir, perang antar-negara, pertentangan antar-suku, maupun antar-masyarakat, maupun mengenai kebijakan politik, ekonomi dan pembangunan, hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta soal lingkungan hidup". Dari kutipan tersebut menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam kehidupan sosial dan politik bukanlah pilihan, melainkan keharusan.

Ada banyak sosok perempuan yang semangatnya patut dijadikan contoh dalam memperjuangkan keadilan. Salah satunya adalah Kasih Kinanti (Kinan), tokoh dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Kinan digambarkan sebagai aktivis perempuan yang tidak pernah surut semangatnya dalam menyuarakan keadilan, bahkan menjadi satu-satunya perempuan di antara rekan-rekan laki-lakinya yang ditangkap oleh aparat.

Semangat serupa juga tampak dalam aksi demonstrasi pada 28 Agustus 2025, ketika seorang ibu berkerudung merah muda mencuri perhatian publik melalui keberanianya menyuarakan kebenaran yang tidak gentar di tengah kerumunan massa. Sosok ibu tersebut menjadi simbol keberanian perempuan yang tidak gentar di tengah tekanan. 

Kita juga mengenal seorang ibu yang setiap hari kamis tanpa lelah hadir di depan istana Negara untuk memperjuangkan keadilan keadilan atas anaknya yang hilang dalam Tragedi Semanggi I. Aksi itu bukan demonstrasi besar-besaran melainkan Aksi Kamisan yang penuh konsisten dan keteguhan hati.

Tak lupa, kisah seorang istri yang dengan cinta dan ketulusan memperjuangkan keadilan atas kepergian suaminya yang diracun saat terbang ke Belanda. Hingga kini, negara masih lamban dalam menangani pelanggaran berat Hak Asasi Manusia. 

Masih banyak perempuan hebat lainnya yang tidak tersorot kamera dan tidak dikenal publik tetapi diam-diam berjuang mengambil peran penting dalam memperjuangkan keadilan. Semangat-semangat itulah yang menjadi percikan bagi kobaran api yang lebih besar.

Tidak semua perempuan dapat turun ke jalan aksi demonstrasi, namun hal itu bukan penghalang. Di era digitalisasi seperti sekarang, media sosial memiliki pengaruh besar, sehingga menyuarakan di ruang digital juga merupakan bentuk perjuangan. 

Meskipun demikian, kita harus bijak. Ditengah derasnya informasi, banyak yang memilih menjadi Buzzer atau membungkam suara orang lain. Oleh karena itu, penting bagi kita dalam menyaring berita, narasi, dan tulisan yang bertebaran di media sosial. 

Jadilah individu yang tidak hanya membaca judul, tetapi memahami isi dan mencari kebenarannya. Mari terus belajar, membaca, dan menyebarkan informasi dari sumber yang terpercaya agar kita tidak terjerumus ke dalam 0,001% yang diungkapkan oleh UNESCO. Dengan begitu, kita dapat ikut berperan, baik dengan menulis maupun membagikan postingan yang relevan dari sumber yang terpercaya, karena diam dan tone deaf menggambarkan sikap apatis dan nir-empati terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.

Perempuan bukan objek visual laki-laki. Perempuan adalah subjek aktif yang berperan penting dalam menjaga stabilitas demokrasi. Sebagai tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat". 

Pasal ini berlaku bagi semua yang sadar keadilan, bahwa keadilan bukan sesuatu diberikan, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Bukan berdasarkan latar belakang, gender, agama, atau profesi. Kita semua sama, satu, dan utuh dalam memperjuangkan keadilan. 

Baik turun ke jalan maupun bersuara di media sosial, semua itu bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga upaya untuk mengungkap kebenaran.
Teruntuk semua perempuan, mari berjalan beriringan dan bergandengan tangan dalam menyuarakan keadilan. Jika ada hambatan untuk turun ke jalan, cari cara lain untuk tetap bersuara. 

Semoga kita menjadi perempuan yang tidak diam saat melihat kedzaliman, yang kokoh berdiri di barisan kebenaran, serta warga Indonesia yang merasakan keresahan yang sama, mari saling jaga dan terus berperan.