SUARA PERUBAHAN: Kreatif, Inovatif, Religius

Maaf, Anak Persma Bukan Humas Kampus, Wahai Bapak/Ibu Birokrasi Yang Terhormat!

 Oleh Rusda Khoiruz Zaman

Dok. Supermedia

Medio bulan Juni tahun lalu, para mahasiswa kampus saya menggelar demo tuntut pemotongan 50% UKT. Sebagai anak persma, tentu saya tak mau ketinggalan menjadi pionir dalam menyuarakan aspirasi cum keresahan teman seperjuangan maupun mengabarkan hal-hal tak beres yang terjadi saat demo melalui tulisan di kanal web dan medsos persma.

Saya waktu itu cuma membuat beberapa straight news atau berita pendek. Banyak peristiwa terjadi di tengah gelaran demo yang bisa saya tuliskan dan kabarkan melalui straight news, terutama bagaimana cara kampus merespons mahasiswanya. Salah sekiannya adalah pernyataan Bapak Rektor yang menuduh tagar trending teratas di Twitter adalah hasil pekerjaan para buzzer.

Beliau menganggap itu bukan suara mahasiswa. Padahal tidak demikian. Realitasnya, itu adalah tagar yang sudah disepakati aliansi mahasiswa untuk dinaikkan. Betapa mak tratap pasti hati teman-teman saya di rumah yang sudah bersusah payah sampai jempolnya keriting menaikkan tagar malah diejek buzzer.

Tak berhenti di situ, saya juga menyorot proses audiensi tertutup yang digelar di sebuah restoran antara pihak kampus dengan perwakilan mahasiswa. Bagi saya, langkah yang diambil kampus ini sungguh tidak etis. Di satu sisi, para mahasiswa tengah berpanas-panasan di depan gedung rektorat. Sedangkan di sisi lain, yang didemo malah kabur ke restoran. Pihak perwakilan mahasiswanya juga sama saja. Kelakuannya hampir mirip dengan perwakilan yang ada di Senayan sana. Kok bisa-bisanya sudi diajak ke restoran? Yang kalian perjuangkan itu aspirasi mahasiswa atau perut sih? Asem memang! Andai kalian tahu, di mana pun tempatnya, tidak ada makan siang gratis. Eh.

Apa boleh buat. Dituntun hati nurani, saya akhirnya menulis straight news dengan judul agak clickbait nan genit, biar kabar ini tersebar luas dan dibaca khalayak. Pun, agar ke depannya hal-hal elitis seperti mengadakan audensi di restoran tidak dimaklumkan dan muaranya menumpulkan pikiran kritis mahasiswa.

Dalam waktu singkat, dua straight news yang saya buat itu ramai. Banyak yang men-share ke grup-grup kelas, angkatan, maupun ke grup konsolidasi. Dan inilah kelebihan tulisan. Mampu menyampaikan informasi dan peristiwa dengan tempo sesingkat-singkatnya. Kalau di tangan Bung Bilven Sandalista, straight news ini bisa menjadi barang yang layak untuk diarsipkan, dikeluarkan saat meng-counter pernyataan pemerintah yang sering ngelantur nan kontradiktif dengan janjinya sendiri saat pemilu.

Sayangnya, respons kampus terhadap tulisan saya yang baru saja naik daun itu sungguh menjengkelkan. Via WhatsApp, malam harinya pihak birokrasi kampus menelepon senior saya dan bilang, “Mas, tolong adik-adiknya itu diberi tahu. Kalau buat berita jangan ngawur, ya! Bikin nama kampus jelek saja.” Tak hanya satu senior, ada pihak birokrasi kampus yang juga menelepon senior saya lainnya pada keesokan hari dengan maksud agar straight news yang saya buat “diturunkan.” Lagi-lagi, demi menjaga nama baik kampus.

Saya tidak ditelepon langsung mungkin karena mereka tidak mau repot-repot mencari kontak saya. Lagi pula, saya juga masih jadi anggota persma ingusan. Untuk apa juga birokrat kampus menyimpan kontak saya. Tapi, saat senior saya menerima panggilan kasih sayang tersebut, kebetulan sekali saya berada di dekatnya. Jadi, saya ikut mendengarkan curahan hati bapak birokrasi kampus di seberang sana.

Mengetahui hal itu, saya jadi bingung lalu berpikir: “padahal yang saya buat hanyalah straight news. Bukan liputan in-depth, apalagi investigasi. Yah, kalau kampus beserta jajaran birokrasinya ingin selalu dicitrakan baik-baik saja, gelontorkan dana dong buat menyewa humas kampus yang kerjanya cuman promosi amal saleh kalian. Tapi, maaf, anak LPM bukan humas kampus, wahai Bapak/Ibu birokrasi yang terhormat! Tugas kami mengabarkan ketidakberesan panjenengan sedoyo!”

“Tidak ada (pekerja) media yang tidak berpihak. Sebagai anak persma, arahkan keberpihakanmu pada yang lemah,” demikian kata senior saya pada saat PJTL yang masih saya ingat dan pegang betul.

*Sebelumnya dimuat di remotivi.or.id, dengan lisensi CC-BY-NC 4.0.