Pers Kampus di Tengah Ketidakpastian Hukum
Oleh Arrizal Fathurohman Nursalim
Dok. Pixabay |
UU Pers memang tidak memberikan
kepastian perlindungan terhadap LPM. Dalam Pasal 18 ayat 1 UU Pers,
perlindungan yang disebutkan hanyalah diperuntukkan bagi perusahaan pers.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU Pers, perusahaan pers adalah badan
hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media
cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang
secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Merujuk pada bunyi pasal
tersebut, timbul pertanyaan: apa saja yang dapat dikategorikan sebagai badan
hukum? Berdasarkan hukum positif di Indonesia, yang dikategorikan sebagai badan
hukum adalah yayasan, koperasi, dan perusahaan. Hal ini diperjelas dalam surat
edaran Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers. Kedudukan LPM yang hanya
sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tentunya mempersulit mereka dalam
memperoleh status badan hukum. Apalagi, mayoritas LPM masih bergantung pada
pendanaan kampus. Termasuk LPM Pro Justitia Fakultas Hukum Unsoed, tempat saya
beraktivitas semasa mahasiswa, yang pemasukan utamanya bersumber dari dana
dekanat fakultas. Kondisi demikianlah yang membuat posisi LPM menjadi begitu
rentan.
Kesulitan ini bukan hanya
meliputi LPM. Organisasi pers yang belum berbadan hukum juga mengalami
ketidakjelasan perlindungan hukum. Misalnya Serat.id, yang baru mengalami kasus
kriminalisasi terkait pelaporan kasus plagiasi yang dilakukan oleh rektor Universitas
Negeri Semarang.
Terkait kasus BPPM Balairung,
kelemahan juga nampak dalam perlindungan terhadap awak media pers mahasiswa.
Dalam UU Pers, pengertian wartawan adalah seorang yang melakukan kegiatan
jurnalistik secara teratur. Diperjelas lagi dalam pasal 8 UU tersebut bahwa
wartawan memperoleh perlindungan hukum yang mencakup jaminan perlindungan
pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan
peranan mereka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Namun istilah “teratur” yang
digunakan ternyata mengesampingkan jenis-jenis kerja jurnalistik tertentu.
Pelaku jurnalisme warga, misalnya, seolah tidak pantas mendapat perlindungan
setingkat dengan “wartawan profesional”. Begitu pula wartawan pers mahasiswa
yang notabene masih menjalani pendidikan di kampus, dan tentunya kesulitan
melakukan kerja jurnalisme secara teratur.
Dalam artikel berjudul
“Profesional, Abal-Abal, dan Hoaks” yang diterbitkan dalam Jurnal Dewan Pers
Edisi 14 pada Juli 2017, LPM dan organisasi kewargaan semacam Serat.id berada
dalam kuadran kedua sebagai lembaga yang tidak terverifikasi dalam dewan pers,
namun pemberitaannya sesuai dengan standar dan kode etik jurnalistik. Mereka
perlu mendapatkan perlindungan hukum dari dewan pers berupa mediasi dengan pihak
yang dirugikan atau pelapor.
Namun, dalam banyak kasus seperti
LPM Poros dan kriminalisasi wartawan Serat.id, pihak pelapor langsung membawa
kasus ini ke Kepolisian Republik Indonesia. Mungkin, kekuatan dewan pers dalam
melakukan mediasi tidak dianggap karena kekuatan hukumnya yang tidak mengikat dan
tidak diatur dalam UU Pers.
Urgensi Melindungi Pers Mahasiswa
Hingga saat ini, LPM kerap kali
hanya mengacu kepada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
dalam menunaikan kerja-kerja jurnalistik. Kondisi demikian membuat pers
mahasiswa menjadi begitu rentan. Walaupun ada UU Keterbukaan Informasi Publik,
dalam pengalaman penulis, seringkali narasumber seperti birokrat kampus tetap
enggan memberikan informasi. Bahkan tak jarang niat baik tersebut dibalikkan
dengan intimidasi, seperti ancaman pengurangan dana kemahasiswaan atau
pengusiran dengan tidak patut dari ruangan.
UU ITE, yang diharapkan menjadi
payung hukum bagi pers mahasiswa dalam mewujudkan kebebasan berekspresi, justru
menjadi bahaya baru. UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3, kerap menjadi dasar
pembungkaman dengan dalih pencemaran nama baik.
Angin segar sempat datang ketika
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pengujian Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan
putusan hukum PN Tangerang terhadap kasus Prita Mulyasari. Dalam pertimbangan
hukumnya, hakim menyatakan bahwa terdapat pengecualian atas pasal 27 ayat 3
jika tindakan tersebut dimaksudkan untuk membela kepentingan umum atau membela
diri. Misalnya, jika seseorang melakukan kritik terhadap pejabat berwenang atas
kebijakan yang ternyata merugikan masyarakat.
Namun faktanya, dalam berbagai
kasus yang terjadi pada LPM, pihak pelapor enggan menggunakan penyelesaian
sebagaimana yang ada dalam UU Pers. Mereka beralasan bahwa pers mahasiswa belum
berbadan hukum dan terverifikasi di Dewan Pers, serta wartawannya belum
terakreditasi sebagai wartawan profesional.
Saat ini, hukum yang ada seolah
menunjuk pers “usaha” sebagai satu-satunya jenis jurnalisme yang paling valid.
Seperti dikatakan oleh Daniel Dhakidae (1991), hal ini menunjukkan pergeseran
orientasi pers yang semulanya partisan dan mengabdi pada ideologi politik,
menjadi pers yang berorientasi kepada pasar dan akumulasi kapital.
Padahal, kerja-kerja jurnalisme
tidak mesti dilakukan untuk akumulasi keuntungan. Praktik-praktik pers
mahasiswa, dan praktik-praktik jurnalisme kewargaan lainnya, dapat mengisi
peran penting dalam menopang tonggak-tonggak demokrasi: kebebasan pendapat dan
informasi. Kerja jurnalistik macam ini, yang umumnya dimotori oleh kesadaran
identitas, juga mengisi ruang yang berbeda dari jurnalisme komersial.
Seharusnya pers mahasiswa, dan juga segala bentuk pers kewargaan lain, untuk
memperoleh tingkat perlindungan yang layak, setidaknya sama dengan pers
“industri”.
Seperti dikatakan Prima Gumilang,
salah satu wartawan CNN Indonesia, dalam wawancara dengan Didaktika UNJ, pers
mahasiswa paling tahu kondisi kampusnya: kebobrokan dan seluk beluknya. Maka
sebagai pers kampus, mereka wajib menginformasikannya untuk kebaikan kampus itu
sendiri. Kesadaran menulis dan menyampaikan informasi ini tidak perlu–dan tidak
bisa–menunggu wartawan profesional datang.
*Sebelumnya dimuat di remotivi.or.id, dengan lisensi CC BY-NC 4.0.